Kamis, 20 Juni 2013

Just for you, My Parents

Pagi itu suasana jalan Ki Mangun Sarkoro terlihat sangat padat. Melebihi hari biasanya. Mobil-mobil mewah terparkir memenuhi ruas jalan raya. jalan searah itu terlihat lebih sempit dengan bebarapa tempat parkir dadakan yang dibuat oleh warga. Di ujung pertigaan jalan terdapat dua polisi beratribut lengkap sedang mengatur lalu lintas. 
Belum ada pukul 9 pagi, salah satu sekolah swasta di Yogyakarta sudah dipadati oleh orang tua siswa. Kerumunan orang-orang di depan pintu gerbang membuat gedung yang berwarna hijau tua itu hampir tidak terlihat. Sebagian dari mereka ada yang segera menuju ke ruangan, sebagian lagi masih berbincang di halaman sekolah. Terlihat beberapa orang tua juga menunaikan sholat Dhuha di masjid sebelah selatan kantor kepala sekolah. Masjid itu juga berwarna hijau tua. Mungkin itulah alasannya mengapa sekolah ini dinamakan green campus.
Hari ini,  20 Juni 2009. Semua pelajar Sekolah Menengah Pertama di seluruh penjuru Indonesia akan menerima pengumuman hasil kelulusan mereka. Tidak terkecuali dengan sekolah yang sebelumnya pernah melahirkan putra bangsa yang mengharumkan nama Indonesia di negeri orang dengan alat pendeteksi tsunami yang ia buat.
Terlihat dari ujung selatan sesosok laki-laki  paruh baya sedang mengayuh sepeda. Melawan arus. Namun, itu sudah menjadi kebiasaannya. Karena hampir setiap pagi ia mengantar putrinya menggunakan sepeda berwarna biru tua kesayangannya itu. Beliau adalah bapakku, yang selalu memberikan motivasi kepadaku untuk menuntut ilmu. Kedua orangtuaku adalah alasanku menjadi seperti sekarang ini. Menjadi perempuan tangguh dengan cita-cita yang tinggi.
Bapakku lah yang sering menghadiri kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah. Tidak terkecuali dengan pagi itu, untuk mengambil hasil jerih payahku selama tiga tahun. Pengumumam hasil kelulusan. Dengan keinginan agar putrinya menjadi orang yang berguna di kemudian hari, tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya ketika harus menitih sepedanya di depan pintu gerbang sekolah sementara yang lain menggunakan mobil mewah dan sepeda motor.
Aku yang seharusnya mendampingi orangtuaku untuk mengambil pengumuman hasil kelulusan pagi itu mangkir dari tugas. Karena sudah ada janji dengan teman-temanku, aku memilih untuk pergi bersama temanku. Ya, pagi itu tepat hari ulang tahun salah satu temanku, Zahra namanya. itulah mengapa, aku rela meninggalkan moment-moment yang sangat menegangkan. Karena di samping aku yakin kalau aku lulus, inilah kesempatan terakhirku untuk menikmati masa SMP bersama teman-temanku. Tentu pergi bersama teman-teman juga moment yang sangat langka bagiku, karena aku masih terlalu pendiam dan tertutup.
Aku dan teman-temanku memutuskan untuk pergi ke suatu toko yang tidak jauh dari sekolah ini, berjalan kaki dengan sedikit candaan kita lontarkan tanpa sebuah skenario. Tibalah kita di sebuah toko, di daerah gayam. Sebagai wujud rasa syukurnya telah dikaruniai umur yang panjang, aku dan teman-temanku mendapat traktiran burger dari Zahra. Sembari menunggu pesanan, obrolan demi obrolan kami lantunkan. Walaupun di dalam hati sedang bergejolak. Gelisah. Makanpun tak enak, tapi canda dan tawa itu muncul untuk sedikit melepasnya.
Belum ada kesempatan untuk menikmati makanan yang kita pesan, salah seorang temanku mendapat sms dari orangtuanya, bahwa kelulusan sudah diumumkan. Mendengar kabar itu, kita sepakat untuk menyusul orang tua kita kembali ke sekolah. Tidak lupa untuk membawa makanan yang sudah kita pesan.
Grogi. Keringat dingin dalam tubuhku mulai bercucuran. Aah, bukan tak lulus yang aku takutkan. Tapi takut dengan nilai yang tidak memuaskan orangtuaku. Pikiranku berkecamuk. Gelisah. Bahkan jantung ini berdetak lebih kencang. Mungkin melebihi bertemu dengan pujaan hati. Awalnya aku dan teman-temanku hanya berjalan biasa, dengan irama agak cepat. Namun, terlihat dari jauh sekolah itu sudah kembali terlihat berjubel orang di halaman. Akhirnya aku memutuskan untuk berlari dan diikuti dengan teman-temanku.
Sesampainya di depan sekolah, aku dan teman-temanku berpencar. Mencari orangtua kita masing-masing. Mataku mulai bekerja. Mencari ke segala arah. Dari pintu gerbang utara, aku berlari menuju pintu gerbang selatan mencari Bapak. Aku rasa Bapak juga mencariku, karena semua orangtua sudah keluar dari ruangan dan bersama putra-putrinya.
Terlihat di dekat pohon sebelah tempat wudhu seorang laki-laki yang sesekali memalingkan badannya ke barat dan timur. Sedang mencari sesuatu. Perlahan aku mengamati orang itu. Setelah aku yakin kalau itu Bapakku, aku berjalan menghampiri beliau. Dengan jarak yang begitu dekat, beliau sadar kalau orang yang  sedang menuju ke arahnya adalah putrinya, beliau juga menghampiriku.
Tak satu katapun yang beliau ucapkan waktu itu. Hanya menghampiriku dengan mata yang berkaca-kaca. Tangis yang terpendam. Tiba-tiba beliau memelukku. Pelukan yang tak biasa. Aku belum tahu, apa yang terjadi dengan hasil kelulusan. Berkecamuk rasa penasaran dibarengi rasa gelisah itu muncul dalam benakku. Kenapa bapakku menangis? Kenapa tak satu katapun beliau sampaikan untukku? Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Nilaiku?”
Hanya kata itu yang mampu aku ucap. Entah kenapa, aku juga turut terharu dengan keadaan itu. Akhirnya air mata itu turut menetes membasahi pipiku. Bapak belum mengucapkan sepatah katapun. Beliau mencoba mencari kertas yang diperoleh tadi dalam sakunya. Kemudian disodorkan kepadaku.  Tak aku baca tulisan kecil yang ada di kertas itu. aku hanya sekilas membukanya. Di bagian atas tertulis nomor ujian dan nama yang ditulis dengan huruf kapital. RIQI ASTUTI. Di bagian tengah tertulis LULUS dengan nilai 35,10.
“Alhamdulillah, Nok. Kowe entuk juara.”
Aku terkejut dengan ucapan yang beliau sampaikan. Juara? Apa maksudnya? Juara ujian? Dalam hati pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Tapi sengaja tak aku lontarkan kepadanya.
“Saiki mlebu meneh wae. Mau digoleki gurumu.”
Sekarang aku yang tak mampu mengungkapkan sepatah katapun selain ungkapan rasa syukurku kepada-Nya tak henti-hentinya dalam hati. Tanpa berfikir panjang, aku mengajak Bapak untuk kembali ke ruangan. Menemui  guruku.
Aku berjalan dari pintu gerbang sekolah menuju ruang pertemuan. Rasa terharu itu muncul ketika dalam perjalananku, aku bertemu dengan beberapa temanku yang sedang bersama orangtuanya. Dalam keadaan masih menangis karena merasa berhasil telah menuntaskan studi selama tiga tahun, beberapa temanku menjabat tanganku dengan ucapan “selamat” kemudian diikuti oleh orangtua mereka. Malu sekaligus bangga rasanya ketika hal itu terjadi. Dengan gesit aku mencoba membalasnya dengan ucapan yang sama kepada mereka. Ahh, tapi rasanya ingin mengumbar senyuman dengan seikhlas mungkin ketika beberapa orangtua dan temanku berjabat tangan dengan Bapak dan mengucapkan selamat atas keberhasilan beliau. Dalam hati, ucapan selamat itu juga muncul. ‘Selamat, Pak. Telah berhasil mendidik putrimu dengan jerik payah yang engkau lakukan.’
Segera aku berlari menuju ruangan ketika aku melihat di dalam ruangan itu ada beberapa temanku. Teman seperjuangan. Di sana, di depan meja juga terlihat sosok guru yang luar biasa. Sosok guru yang sangat menginspirasi. Menyejukkan. Kesabaran dan motivasi yang beliau berikanlah yang mampu memberikanku semangat belajar dan akhirnya mampu meraih hasil yang sangat beliau harapkan. Bu Mimi nama guru itu. walaupun baru satu setengah tahun menjadi anak didik beliau, banyak pengalaman dan pelajaran hidup yang aku peroleh darinya.
Aku berdiri sejenak di depan pintu, mencoba mengamati satu per satu isi ruangan dan orang-orang yang ada didalamnya. Kemudian segera aku berlari menghampiri guruku.  Tanpa isyarat. Tanpa skenario. Pelukan penuh kasih sayang itu kembali aku peroleh. Kali ini dari orang yang sangat menginspirasi bagiku. Dadaku yang masih sesak memendam rasa tangis itu, akhirnya aku tumpahkan di tempat itu. Tangis kebahagiaan. Tangis ucapan terima kasih. Walaupun hanya sesaat, tapi mampu melegakan. Ucapan saling berterima kasih itu akhirnya muncul diantara kami. Terima kasih telah menjadi wali kelas sekaligus guru yang selalu memotivasi agar dapat memperoleh yang terbaik. Terima kasih telah menempati janjinya untuk memperoleh nilai 10.
Di ruang kelas itu. ruang perjuangan itu. walaupun terletak di sudut barat dan di apit dengan ruang piket dan kamar mandi yang membuat ruang kelas menjadi gelap, tetapi bagi kami itulah ruang perjuangan. Ruang penuh kenangan. Ruang kelas IX A. Selama kurang lebih 8 bulan kami dijejali dengan materi-materi ujian nasional di tempat itu. Selama itu pula kami belajar bersama. Berjuang bersama untuk mencapai puncak tertinggi tujuan kami. Seisi ruangan yang kebetulan mayoritas kelas IX A saling mengucapkan selamat dan berbagi cerita. Ada beberapa yang bahagia dengan hasil yang diperolehnya, namun tidak sedikit pula yang menyesal dan sedikit tidak menyangka dengan hasil yang diperoleh. Sekali lagi, buka lulus atau tidak lulus. Tapi, persoalan nilai.
Banyak cerita yang kami bagi bersama teman-teman dan juga guru sekaligus wali kelas kami. Maklum, karena sudah menjadi tradisi sekolah itu biasanya satu hari setelah pengumuman ujian nasional adalah perpisahan. Dari mulai perasaannya setelah memperoleh hasil kerja keras yang dilakukan sampai persiapan untuk perpisahan esok kami obrolkan.
“Riqi, itu ibu bawakan baju sama sepatu buat kamu besok”, ujar Bu Mimi.
Aku sedikit terkejut. Baju? Sepatu? Dibawakan? Aku segera menengok ke arah sumber suara. mencoba menanyakan maksud dari ucapan itu dengan bahasa tubuh. Kemudian, Bu Mimi menyodorkan sebuah plastik berwarna hitam yang di dalamnya terdapat seperangkat perlengkapan kebaya.
“Subhanallah, kejutan apalagi ini? terima kasih ya Allah”. aku mengucapkan kata-kata itu dalam hati, tak lupa kembali ku ucap kata terima kasih itu kepada guru favoritku ini. aku tak menyangka sampai beliau rela membawakan seperangkat kebaya untuk perpisahanku esok. Memang sudah aturan yang turun menurut di sekolah ini, siswa yang memperoleh rangking 10 besar diberikan hak spesial untuk menggunakan baju kebaya (bagi perempuan) dan jas (bagi laki-laki). Sementara teman-teman yang lain menggunakan baju putih, bawahan hitam dan dasi. Hari ini, bahkan sebelum pengumuman kelulusan, beberapa temanku yang optimis bisa masuk 10 besar sudah memesan kebaya duluan. Sedangkan aku, walaupun optimis itu memang muncul, tapi sama sekali belum mempersiapkan. Bahkan aku tak tau bagaimana repotnya orangtuaku ketika tidak mendapatkan kebaya ini dari Bu Mimi.
Segera aku bawa bungkusan itu ke kamar mandi. Bermaksud untuk memastikan, pas atau tidak baju yang beliau bawakan. Aku buka perlahan bungkusan itu, kebaya berwarna merah marun, berbentuk sedikit memanjang di bagian depan dan dihiasi dengan payit-payit kecil. aku tersenyum melihatnya, merah marun? Hampir mendekati pink? Itu warna yang aku dambakan untuk kukenakan dalam perpisahan ini. kemudian aku mengeluarkan bawahan, bermotif jarik, dengan batik yang miring ke samping berwarna putih dan coklat. Di tepi garis dilapisi dengan bahan tertentu yang membuatnya terlihat menyala ketika digunakan. Di bungkusan yang satunya terdapat sepasang sepatu berwarna hitam. mirip sepatu yang dikenakan kalau pas pernikahan di desa-desa itu. karena aku pernah mengenakan sepatu seperti itu. dulu, ketika masih berumur dibawah 10 tahun untuk mendampingi pengantin. Segera aku coba seperangkat kebaya itu, lengkap dengan sepatunya. Aku tersenyum melihat aku sendiri di depan cermin, bagaimana jadinya aku besok mengenakan baju ini. lucu sekali. karena aku memang jarang menggunakan kebaya. Walaupun sedikit terlihat kebesaran, tapi semua itu pasti bisa diatasi oleh ibu, begitu pikirku. Aku memutuskan untuk mengenakan baju yang dipesankan guruku dalam perpisahan esok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar