Pagi itu suasana jalan Ki Mangun Sarkoro
terlihat sangat padat. Melebihi hari biasanya. Mobil-mobil mewah terparkir
memenuhi ruas jalan raya. jalan searah itu terlihat lebih sempit dengan
bebarapa tempat parkir dadakan yang dibuat oleh warga. Di ujung pertigaan jalan
terdapat dua polisi beratribut lengkap sedang mengatur lalu lintas.
Belum ada pukul 9 pagi, salah satu sekolah
swasta di Yogyakarta sudah dipadati oleh orang tua siswa. Kerumunan orang-orang
di depan pintu gerbang membuat gedung yang berwarna hijau tua itu hampir tidak
terlihat. Sebagian dari mereka ada yang segera menuju ke ruangan, sebagian lagi
masih berbincang di halaman sekolah. Terlihat beberapa orang tua juga
menunaikan sholat Dhuha di masjid sebelah selatan kantor kepala sekolah. Masjid
itu juga berwarna hijau tua. Mungkin itulah alasannya mengapa sekolah ini
dinamakan green campus.
Hari ini,
20 Juni 2009. Semua pelajar Sekolah Menengah Pertama di seluruh penjuru
Indonesia akan menerima pengumuman hasil kelulusan mereka. Tidak terkecuali
dengan sekolah yang sebelumnya pernah melahirkan putra bangsa yang mengharumkan
nama Indonesia di negeri orang dengan alat pendeteksi tsunami yang ia buat.
Terlihat dari ujung selatan sesosok
laki-laki paruh baya sedang mengayuh
sepeda. Melawan arus. Namun, itu sudah menjadi kebiasaannya. Karena hampir
setiap pagi ia mengantar putrinya menggunakan sepeda berwarna biru tua
kesayangannya itu. Beliau adalah bapakku, yang selalu memberikan motivasi
kepadaku untuk menuntut ilmu. Kedua orangtuaku adalah alasanku menjadi seperti
sekarang ini. Menjadi perempuan tangguh dengan cita-cita yang tinggi.
Bapakku lah yang sering menghadiri
kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah. Tidak terkecuali dengan pagi itu,
untuk mengambil hasil jerih payahku selama tiga tahun. Pengumumam hasil
kelulusan. Dengan keinginan agar putrinya menjadi orang yang berguna di kemudian
hari, tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya ketika harus menitih
sepedanya di depan pintu gerbang sekolah sementara yang lain menggunakan mobil
mewah dan sepeda motor.
Aku yang seharusnya mendampingi orangtuaku
untuk mengambil pengumuman hasil kelulusan pagi itu mangkir dari tugas. Karena
sudah ada janji dengan teman-temanku, aku memilih untuk pergi bersama temanku.
Ya, pagi itu tepat hari ulang tahun salah satu temanku, Zahra namanya. itulah
mengapa, aku rela meninggalkan moment-moment yang sangat menegangkan. Karena di
samping aku yakin kalau aku lulus, inilah kesempatan terakhirku untuk menikmati
masa SMP bersama teman-temanku. Tentu pergi bersama teman-teman juga moment
yang sangat langka bagiku, karena aku masih terlalu pendiam dan tertutup.
Aku dan teman-temanku memutuskan untuk
pergi ke suatu toko yang tidak jauh dari sekolah ini, berjalan kaki dengan
sedikit candaan kita lontarkan tanpa sebuah skenario. Tibalah kita di sebuah
toko, di daerah gayam. Sebagai wujud rasa syukurnya telah dikaruniai umur yang
panjang, aku dan teman-temanku mendapat traktiran burger dari Zahra. Sembari
menunggu pesanan, obrolan demi obrolan kami lantunkan. Walaupun di dalam hati
sedang bergejolak. Gelisah. Makanpun tak enak, tapi canda dan tawa itu muncul
untuk sedikit melepasnya.
Belum ada kesempatan untuk menikmati
makanan yang kita pesan, salah seorang temanku mendapat sms dari orangtuanya,
bahwa kelulusan sudah diumumkan. Mendengar kabar itu, kita sepakat untuk
menyusul orang tua kita kembali ke sekolah. Tidak lupa untuk membawa makanan
yang sudah kita pesan.
Grogi. Keringat dingin dalam tubuhku mulai
bercucuran. Aah, bukan tak lulus yang aku takutkan. Tapi takut dengan nilai
yang tidak memuaskan orangtuaku. Pikiranku berkecamuk. Gelisah. Bahkan jantung
ini berdetak lebih kencang. Mungkin melebihi bertemu dengan pujaan hati.
Awalnya aku dan teman-temanku hanya berjalan biasa, dengan irama agak cepat.
Namun, terlihat dari jauh sekolah itu sudah kembali terlihat berjubel orang di
halaman. Akhirnya aku memutuskan untuk berlari dan diikuti dengan
teman-temanku.
Sesampainya di depan sekolah, aku dan
teman-temanku berpencar. Mencari orangtua kita masing-masing. Mataku mulai
bekerja. Mencari ke segala arah. Dari pintu gerbang utara, aku berlari menuju
pintu gerbang selatan mencari Bapak. Aku rasa Bapak juga mencariku, karena
semua orangtua sudah keluar dari ruangan dan bersama putra-putrinya.
Terlihat di dekat pohon sebelah tempat
wudhu seorang laki-laki yang sesekali memalingkan badannya ke barat dan timur.
Sedang mencari sesuatu. Perlahan aku mengamati orang itu. Setelah aku yakin
kalau itu Bapakku, aku berjalan menghampiri beliau. Dengan jarak yang begitu
dekat, beliau sadar kalau orang yang
sedang menuju ke arahnya adalah putrinya, beliau juga menghampiriku.
Tak satu katapun yang beliau ucapkan waktu
itu. Hanya menghampiriku dengan mata yang berkaca-kaca. Tangis yang terpendam.
Tiba-tiba beliau memelukku. Pelukan yang tak biasa. Aku belum tahu, apa yang
terjadi dengan hasil kelulusan. Berkecamuk rasa penasaran dibarengi rasa
gelisah itu muncul dalam benakku. Kenapa bapakku menangis? Kenapa tak satu
katapun beliau sampaikan untukku? Akhirnya aku memberanikan diri untuk
bertanya.
“Nilaiku?”
Hanya kata itu yang mampu aku ucap. Entah
kenapa, aku juga turut terharu dengan keadaan itu. Akhirnya air mata itu turut
menetes membasahi pipiku. Bapak belum mengucapkan sepatah katapun. Beliau
mencoba mencari kertas yang diperoleh tadi dalam sakunya. Kemudian disodorkan
kepadaku. Tak aku baca tulisan kecil
yang ada di kertas itu. aku hanya sekilas membukanya. Di bagian atas tertulis
nomor ujian dan nama yang ditulis dengan huruf kapital. RIQI ASTUTI. Di bagian
tengah tertulis LULUS dengan nilai 35,10.
“Alhamdulillah, Nok. Kowe entuk juara.”
Aku terkejut dengan ucapan yang beliau sampaikan.
Juara? Apa maksudnya? Juara ujian? Dalam hati pertanyaan-pertanyaan itu muncul.
Tapi sengaja tak aku lontarkan kepadanya.
“Saiki mlebu meneh wae. Mau digoleki
gurumu.”
Sekarang aku yang tak mampu mengungkapkan
sepatah katapun selain ungkapan rasa syukurku kepada-Nya tak henti-hentinya
dalam hati. Tanpa berfikir panjang, aku mengajak Bapak untuk kembali ke
ruangan. Menemui guruku.
Aku berjalan dari pintu gerbang sekolah
menuju ruang pertemuan. Rasa terharu itu muncul ketika dalam perjalananku, aku
bertemu dengan beberapa temanku yang sedang bersama orangtuanya. Dalam keadaan
masih menangis karena merasa berhasil telah menuntaskan studi selama tiga
tahun, beberapa temanku menjabat tanganku dengan ucapan “selamat” kemudian
diikuti oleh orangtua mereka. Malu sekaligus bangga rasanya ketika hal itu
terjadi. Dengan gesit aku mencoba membalasnya dengan ucapan yang sama kepada
mereka. Ahh, tapi rasanya ingin mengumbar senyuman dengan seikhlas mungkin
ketika beberapa orangtua dan temanku berjabat tangan dengan Bapak dan
mengucapkan selamat atas keberhasilan beliau. Dalam hati, ucapan selamat itu
juga muncul. ‘Selamat, Pak. Telah berhasil mendidik putrimu dengan jerik payah
yang engkau lakukan.’
Segera aku berlari menuju ruangan ketika
aku melihat di dalam ruangan itu ada beberapa temanku. Teman seperjuangan. Di
sana, di depan meja juga terlihat sosok guru yang luar biasa. Sosok guru yang
sangat menginspirasi. Menyejukkan. Kesabaran dan motivasi yang beliau
berikanlah yang mampu memberikanku semangat belajar dan akhirnya mampu meraih
hasil yang sangat beliau harapkan. Bu Mimi nama guru itu. walaupun baru satu
setengah tahun menjadi anak didik beliau, banyak pengalaman dan pelajaran hidup
yang aku peroleh darinya.
Aku berdiri sejenak di depan pintu, mencoba
mengamati satu per satu isi ruangan dan orang-orang yang ada didalamnya.
Kemudian segera aku berlari menghampiri guruku.
Tanpa isyarat. Tanpa skenario. Pelukan penuh kasih sayang itu kembali
aku peroleh. Kali ini dari orang yang sangat menginspirasi bagiku. Dadaku yang
masih sesak memendam rasa tangis itu, akhirnya aku tumpahkan di tempat itu.
Tangis kebahagiaan. Tangis ucapan terima kasih. Walaupun hanya sesaat, tapi
mampu melegakan. Ucapan saling berterima kasih itu akhirnya muncul diantara
kami. Terima kasih telah menjadi wali kelas sekaligus guru yang selalu
memotivasi agar dapat memperoleh yang terbaik. Terima kasih telah menempati
janjinya untuk memperoleh nilai 10.
Di ruang kelas itu. ruang perjuangan itu.
walaupun terletak di sudut barat dan di apit dengan ruang piket dan kamar mandi
yang membuat ruang kelas menjadi gelap, tetapi bagi kami itulah ruang
perjuangan. Ruang penuh kenangan. Ruang kelas IX A. Selama kurang lebih 8 bulan
kami dijejali dengan materi-materi ujian nasional di tempat itu. Selama itu
pula kami belajar bersama. Berjuang bersama untuk mencapai puncak tertinggi
tujuan kami. Seisi ruangan yang kebetulan mayoritas kelas IX A saling
mengucapkan selamat dan berbagi cerita. Ada beberapa yang bahagia dengan hasil
yang diperolehnya, namun tidak sedikit pula yang menyesal dan sedikit tidak
menyangka dengan hasil yang diperoleh. Sekali lagi, buka lulus atau tidak
lulus. Tapi, persoalan nilai.
Banyak cerita yang kami bagi bersama
teman-teman dan juga guru sekaligus wali kelas kami. Maklum, karena sudah
menjadi tradisi sekolah itu biasanya satu hari setelah pengumuman ujian
nasional adalah perpisahan. Dari mulai perasaannya setelah memperoleh hasil
kerja keras yang dilakukan sampai persiapan untuk perpisahan esok kami
obrolkan.
“Riqi, itu ibu bawakan baju sama sepatu
buat kamu besok”, ujar Bu Mimi.
Aku sedikit terkejut. Baju? Sepatu?
Dibawakan? Aku segera menengok ke arah sumber suara. mencoba menanyakan maksud
dari ucapan itu dengan bahasa tubuh. Kemudian, Bu Mimi menyodorkan sebuah
plastik berwarna hitam yang di dalamnya terdapat seperangkat perlengkapan
kebaya.
“Subhanallah, kejutan apalagi ini? terima
kasih ya Allah”. aku mengucapkan kata-kata itu dalam hati, tak lupa kembali ku
ucap kata terima kasih itu kepada guru favoritku ini. aku tak menyangka sampai
beliau rela membawakan seperangkat kebaya untuk perpisahanku esok. Memang sudah
aturan yang turun menurut di sekolah ini, siswa yang memperoleh rangking 10
besar diberikan hak spesial untuk menggunakan baju kebaya (bagi perempuan) dan
jas (bagi laki-laki). Sementara teman-teman yang lain menggunakan baju putih,
bawahan hitam dan dasi. Hari ini, bahkan sebelum pengumuman kelulusan, beberapa
temanku yang optimis bisa masuk 10 besar sudah memesan kebaya duluan. Sedangkan
aku, walaupun optimis itu memang muncul, tapi sama sekali belum mempersiapkan.
Bahkan aku tak tau bagaimana repotnya orangtuaku ketika tidak mendapatkan
kebaya ini dari Bu Mimi.
Segera aku bawa bungkusan itu ke kamar
mandi. Bermaksud untuk memastikan, pas atau tidak baju yang beliau bawakan. Aku
buka perlahan bungkusan itu, kebaya berwarna merah marun, berbentuk sedikit
memanjang di bagian depan dan dihiasi dengan payit-payit kecil. aku tersenyum
melihatnya, merah marun? Hampir mendekati pink? Itu warna yang aku dambakan
untuk kukenakan dalam perpisahan ini. kemudian aku mengeluarkan bawahan,
bermotif jarik, dengan batik yang miring ke samping berwarna putih dan coklat.
Di tepi garis dilapisi dengan bahan tertentu yang membuatnya terlihat menyala
ketika digunakan. Di bungkusan yang satunya terdapat sepasang sepatu berwarna
hitam. mirip sepatu yang dikenakan kalau pas pernikahan di desa-desa itu.
karena aku pernah mengenakan sepatu seperti itu. dulu, ketika masih berumur
dibawah 10 tahun untuk mendampingi pengantin. Segera aku coba seperangkat
kebaya itu, lengkap dengan sepatunya. Aku tersenyum melihat aku sendiri di
depan cermin, bagaimana jadinya aku besok mengenakan baju ini. lucu sekali.
karena aku memang jarang menggunakan kebaya. Walaupun sedikit terlihat
kebesaran, tapi semua itu pasti bisa diatasi oleh ibu, begitu pikirku. Aku
memutuskan untuk mengenakan baju yang dipesankan guruku dalam perpisahan esok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar