“La,
itu Fezi. Nggaya banget sih dia. Tasnya
ditenteng kayak orang sukses aja.”
Mata Fara melirik ke arah timur taman itu.
Spontan, Lila mengikuti lirikan mata Fara. Dihiasi dengan senyum yang indah.
Senyum penuh makna.
“Emang
udah sukses kali, Ra.”
“Feziii....”, Lanjut Lila sambil melambaikan tangannya.
Bermaksud memberi tanda bahwa mereka ada di sana.
Laki-laki itu menengok dan segera menuju
tempat Fara dan Lila duduk yang tak begitu jauh dari posisinya. Ia segera duduk
di samping mereka. Meletakkan tas yang ia tenteng di meja taman.
“Hei,
kalian kemana aja. Nggak pernah kelihatan?”, ujar Fezi mengawali pembicaraan.
“Kamu
aja kali Zi yang nggak pernah kelihatan. Sok sibuk banget sih, sampai nggak
pernah kumpul lagi.”
Sesegera mungkin Lila menjawab pertanyaan
Fezi. Diikuti dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Indah. Terlihat ia
sedang merasakan kebahagiaan. Bahkan mungkin bahagianya lengkap sudah kala itu.
Sementara Fara hanya terdiam dan sesekali tersenyum. Ia ingin mencari jawaban
atas pertanyaan malam itu. Sendiri. matanya sesekali memperhatikan gerak tubuh
Lila.
“Maafkanlah
daku kawan, banyak tugas dinas yang harus ku lakukan.” Fezi menjawab pertanyaan Lila dengan gaya
sok bersalah, tangannya pun ia tengadahkan kepada mereka. Laki-laki ini, ia
sangat berwibawa ketika menjadi pemimpin. Namun, ketika sudah diluar tugas, ia
sangat supel. Gokil dan suka bercanda. Bahkan ketika ada yang mengenalnya hanya
dalam pertemuan-pertemuan organisasi, mereka sering terkejut ketika baru
pertama melihat Fezi di luar aktivitas organisasinya. Beda sekali. seperti
mempunyai dua sisi yang berlawanan. Fara dan Lila tak henti-hentinya tertawa
melihat ulah lucu seorang ketua BEM.
“Udahlah,
Zi. Itu mah nggak penting. Ada yang lebih penting kok buat kita. Asal kamu mau,
kita maafin deh kesalahan terbesarmu itu”, ujar Fara sambil bercanda.
“Penting?
Emang apa yang penting?”
“Kamu
menang lomba lagi kan?”
Hampir bersamaan dua gadis itu menjawab
pertanyaan Fezi. Sesaat mereka berpandangan, merasa agak aneh. Tapi kemudian
mereka tertawa.
“Ah,
ini mesti ulah Lila. Dasar orang sok update”, Fezi menebak informasi yang mereka dapat. “Terus maksudnya apa kalau aku menang lomba?”.
“Halah,
kok sok amnesia juga ya cowok yang satu ini. Biasalah, pajak buat kita.”
Mereka saling mengumbar senyum. Bersamaan.
Sudah menjadi kebiasaan mereka, ketika salah satu ada yang menang lomba. Mereka
selalu jalan bareng, atau sekedar makan bareng. Hitung-hitung sebagai ucapan
terima kasih atas semangat yang mereka berikan. Dalam kebersamaan mereka
terikat sebuah visi. Visi bersama. Visi untuk selalu menjadi yang terbaik.
Kapanpun, dimanapun. Jadi prestasi-prestasi yang mereka hasilkan merupakan buah
dari mimpi mereka. Mimpi mereka bersama. Mengukir prestasi merupakan satu
alasan mereka bisa bersama sampai saat ini.
“Iya.
Iya. Oke deh. makan aja yuk, sekarang.”
“Gratis
kan ya?”, Lila memastikan,
sambil tersenyum dengan Fara.
“Iya,
iya miss update.”
***
Warung makan sebelah kampus menjadi pilihan
mereka. Tempat biasa mereka kumpul bertiga. Berdiskusi, mencari ide, dan
berbagi pengalaman mereka lakukan di tempat itu. Saat mereka sudah berkumpul,
tak jarang mereka lupa waktu. Maklum, pertemuan mereka dengan jarak yang lama
menyisakan banyak cerita yang harus dibagi. Bahkan pemilik warung, Ibu Ginah
sampai hafal dengan mereka.
“Lil,
Ra, gimana kalian? Udah ikut kegiatan apa aja nih?”, Fezi membuka percakapan.
Dengan penuh semangat, Lila menjawab
pertanyaan Fezi. Satu per satu kegiatan yang ia lakukan selama satu bulan terakhir
ini ia ceritakan. Detail sekali. Dengan gaya ambisius. Menginginkan sebuah
pengertian dan perhatian. Aah, malam ini semangat Lila benar-benar terpacu.
Bahkan sampai ke titik puncak. Ingin semua ia sampaikan malam itu.
Sementara itu, malam itu berbeda sekali
dengan Fara. Dia hanya terdiam. Mendengarkan dengan seksama cerita yang
disampaikan Lila. Karena memang sebagian besar cerita yang disampaikan Lila
adalah cerita mereka berdua. Sesekali Fezi memandangi Fara. Melihat
ketidakbiasaan sikapnya.
“Kamu
sibuk apa, Ra? Kok diam terus. Ga jadi seneng-seneng donk kita di sini.”
Tiba-tiba Fezi memotong cerita Lila dan
menegur Fara. Sesaat, Lila langsung menghentikan pembicaraannya dan mengalihkan
perhatiannya kepada sahabatnya.
“Iiih,
Fara... Kamu kenapa coba? Sekarang kan udah waktunya kita berbagi.”
“Lebay
kamu, Zi. Aku tuh baru dengerin Lila cerita tuh lhoo, antusias banget. sampai
aku terpana gini, jadinya keliatan bengong.”
Mereka saling berpandangan. Diam. Sesaat
kemudian, mereka tertawa. Tapi, Fezi merasa ada yang aneh. Entah apa. Ia tak
tau pasti. Karena memang perempuan satu ini sulit terbuka dan terlalu pandai
untuk menyembunyikan sesuatu.
Lebih dari 3 jam mereka terlalut dalam
pembicaraan. Seperti borong ilmu. Usai pertemuan tiga serangkai ini, mereka
mendapatkan banyak sekali ilmu baru. Pengalaman, sikap, perjalanan,
perncapaian. Semua mereka dapatkan.
****
Aktivitas sore itu bersama Fezi dan Lila
sudah menjawab pertanyaannya. Pertanyaan malam itu, pertanyaan yang sangat
simpel. Pertanyaannya pada sang bulan. Bahasa tubuh, gaya bahasa, dan ambisiusitas
Lila dalam bercerita menjadi jawaban atas pertanyaannya.
Fara kembali menatap langit. Melihat sang
bulan. Menatap sang bintang dan menikmati gemercik air sungai. Sesaat ia
terdiam. Ia mencoba meraih buku diary di sebelahnya. Bergambarkan bunga anggrek
ungu dan dihiasi dengan pita di sekeliling buku. Indah sekali.
Di buka lembar demi lembar dalam bukunya. Dengan
cepat. Karena ia sudah hafal apa isi diary-nya. Tapi ia terhenti membaca pada
suatu lembar. lembar-lembar terakhir. Dalam diary itu tertanggal 14 Desember
2008 dengan judul “Mungkinkah. . .?”
Dalam diam, ia berharap. Dalam tangis, ia
meminta. Dalam kesendirian, ia merenung. Terlalu lama ia memendam perasaannya
pada Fezi. Mahasiswa yang sangat produktif. Dengan segudang prestasi dan
setumpuk tugas yang diembannya. Tapi, terlalu pandai ia menyimpan, terlalu
tertutup dalam perasaannya. Bahkan tak seorangpun yang tau. Ia terlalu setia
dengan buku diary-nya. Segala perasaan dan kegiatannya selalu ia ceritakan
dalam buku itu. Bahkan sejak dia SD, ia sudah sering menulis diary. Hingga
kini, sudah buku diary kelima yang ia gunakan.
Fara tak ingin mempermasalahkan perasaannya. biarkan perasaan itu terus mengalir seperti air. Biarkan kelak kan berlabuh. dalam naungan yang lebih luas, seluas samudra. toh, ia merasa tak ada seorangpun yang tau kalau Fezi adalah dambaan hatinya. Begitu juga Lila, menjadi hal yang sangat tabu bagi Fara bercerita tentang perasaannya pada orang lain. Biarkan perasaan itu mengalir hingga ke pelabuhan terakhir, akankah habis terserap tanah, ataukah masih tersisa hingga ujung waktu. ia tak ingin Lila tau perasaannya dan mengubah atau bahkan merusak persahabatannya.
“Sudahlah,
lupakan. Toh, mereka masih sahabatku. Bersama mereka sudah menjadi kebahagiaan
tersendiri bagiku.”
*************TAMAT************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar