Minggu, 09 Juni 2013

[Cerpen] Ijinkan aku berharap


       Teriknya matahari siang itu membuatku enggan untuk sekedar melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Tapi, aktivitas yang harus ku jalankan di sore hari membuatku harus memaksa tubuhku untuk menerobos teriknya matahari. Ku paksa diriku meninggalkan tempat itu dan beranjak ke aktivitas selanjutkan.
          "Dinda. . ."
       Lirih. Ku dengar suara itu sangat lembut, bahkan hampir ku kira itu suara perempuan. Aku refleks menengok, dan mencari sumber suara. Betapa terkejutnya aku, sosok laki-laki yang belum lama aku kenal. Berdiri tegak di belakangku. Matanya menatapku penuh makna. Senyum yang sangat khas menghiasi bibirnya. Aku tertegun. Bingung. Salah tingkah.
           "Kamu?"
           "Maaf, ada apa?"
       Walaupun sangat terlihat salah tingkah, aku menjaga sikapku untuk bertanya baik-baik.
           "Ini, untukmu."
       Dia tersenyum. Sembari menyodorkan secarik kertas. Berwarna biru langit diikat pita kecil berwarna merah muda. Kemudian segera berlalu meninggalkanku.
       Aku tertegun. Tak tau, apa maksudnya. Belum mampu mengucapkan sepatah katapun, mata ini malah melepas dia pergi. Sekedar kata terimakasih atau menanyakan maksudnya tak sempat aku lontarkan. Segera aku masukkan kertas itu ke dalam tas dan memastikan di tempat yang pas. Dengan sedikit bingung dan masih terfikirkan dengan tingkah laki-laki itu aku memaksa diriku menahan diri tidak melihat isi kertas itu, karena masih ada amanah yang harus aku selesaikan.

***

       Setibanya di rumah segera aku buka kertas itu. Rapi sekali. Ikatan pita yang tak biasa pula. Perlahan aku buka kertas kecil yang digulung layaknya isi sayembara jaman dahulu, hanya saja lebih indah. Ku temukan sebuah kalimat yang terangkai begitu apiknya, tapi aku tak begitu mengerti dengan isinya.

                             Coba kau dengarkan,
                             Bisik hati penuh kejujuran
                             Dengan sepenuh keikhlasan,
                             Ku dambakan pengertian.

                             Sebenarnya aku merasa
                             Sinar cahaya yang gemilang
                             Ketika kau beriku harapan

                             Dan sering aku harapkan
                             Cinta berlandas keimanan
                             Dan kasih suci kita kan diberkati

       Aku tak mengerti apa maksudnya, kata itu? Aku rasa lebih tepat diberikan pada orang terdekatnya. Sedangkan aku?. Bukan gr atau senang, tapi aku sedikit ilfil membaca tulisan itu.
Segera aku ambil ponselku di samping tempat aku membaca secarik kertas itu. Tanpa berfikir panjang, segera aku kirim sms pada laki-laki itu.
          “Maaf, Ndri. Aku benar-benar tidak mengerti apa maksudmu tadi siang.”

        Andri nama laki-laki itu. Belum ada setengah tahun aku mengenalnya. Walaupun sebelumnya aku sudah mendengar cerita tentangnya dari beberapa temanku. awal aku kenal dan ketemu langsung dengannya ketika aku sedang mengikuti suatu acara di gedung Bimo. Kebetulan waktu itu aku sedang bersama temanku, Sinta. Karena Andri sudah mengenal Sinta, mereka ngobrol dan mengenalkan aku. Setelah pertemuan itu, perkenalanku dengannya berlanjut.
       Cerita dari beberapa temanku membuatku mempresepsikan dia adalah orang yang sok tau dan ingin dikenal. Tetapi, setelah aku berkenalan langsung dan sering berinteraksi dengannya aku merasa presepsiku salah. Aku merasa ada hal besar yang ada dalam dirinya, tapi aku belum menemukan itu.
Seiring berjalannya waktu, bahkan aku sangat heran dengan sikapku. Sering aku berkumpul dengan teman-temanku dan di sela-sela obrolan ringan diantara kita, tidak jarang nama laki-laki itu sering tersebut. ah, tapi aku sering menolak dengan apa yang mereka ucapkan. Selalu aku ucapkan, “masak sih sampe segitunya, bukannya dia itu. . .” “dia itu. . . pinter. Gampang diajak temenan, terus. . .” belum selesai aku mengucapkan, selalu sudah dilanjutkan teman di sebelahku. Aku rasa mereka sudah terlalu hafal dengan apa yang aku ucapkan setiap kali mereka membicarakan laki-laki itu.
        Sering aku berfikir, kenapa sepertinya aku terlalu membela perbuatannya. aku tak tau pasti, hal apa yang mendasari sikapku. sering ku ucap kata 'pintar' tentangnya. pintar? ah, aku rasa masih biasa saja. pintar itu relatif. lagi pula, aku belum mendengar temanku menceritakan prestasi yang pernah diraihnya.
lamunanku tiba-tiba terhenti ketika sadar ada pesan masuk di ponselku. 'Andri' ujarku lirih, sigap aku mengambil pesan itu. singkat padat, "pahami, kamu akan menemukan sisi lain dari kata itu. oh ya, itu sebenernya lirik."
        Sebenarnya aku sudah terlalu pesimis akan mendapat jawaban yang mengenakan ketika bertanya dengannya. kebiasaannya menjawab yang selalu tidak sinkron dengan pertanyaan yang dilontarkan mungkin sudah menjadi gaya hidupnya. Tapi, sungguh, aku tak mengerti. apa maksud dia memberikan rangkaian kata itu kepadaku. kalimat yang penuh arti. ah, aku rasa itu bukan sekedar goresan tak bermakna. tapi kenapa harus diberikan padaku? apa yang dia mau? aku belum menemukan jawabannya.

***

        setiap kali aku menanyakan maksud dari ia memberikan kertas itu selalu ia hanya terdiam. aku rasa, secara tersirat dia ingin mengucapkan 'tanpa ku katakan, aku rasa kamu sudah tau jawabannya.'
        memang, setelah kejadian siang itu, semua berubah. keterbukaan diantara kita seperti lebih luas. menjadi lebih mudah untuk saling mengenali kepribadian diantara kita. aah, entahlah aku tak tau skenario ini. ketika aku masih sering mendengar cerita tentangnya, aku sangat ilfil. ilfil mendengar kelakuannya yang katanya sih nggak baik. tapi sekarang? ah, kenapa jadi seperti ini? seperti masuk dalam sebuah perangkap.
apakah ini yang dinamakan cinta? aku tak tau pasti. tapi skenario tertata dengan rapi. indah. rasa saling menghargai dan memahami itu hadir. belum pernah sekalipun terucap diantara kita "aku mencintaimu" seperti halnya di film telenovela itu, tapi dengan sikap semua itu terlihat jelas.

***

       berbeda dengan malam-malam sebelumnya. malam itu rasanya berbeda sekali. sehari ini aku tak mendapat kabar darinya. tak satupun smsku yang dibalas. telepon pun tak diangkat. hmm, mungkin sudah atas dasar kepercayaan. walaupun khawatir itu muncul, tapi kesibukan diantara kita menjadi tameng yang sangat kuat untuk memahami. aku coba memahami, mungkin masih banyak amanah yang harus ia lakukan.
"Din, itu ada barang di depan pintu. buat kamu kali, keluar gih", perintah ibuku sambil membuka pintu kamar yang masih tertutup.
        aku segera bergegas keluar kamar. sinar matahari yang menebus celah-celah jendela rumah sedikit menghalangi mataku yang memang belum sepenuhnya bangun.
'barang? siapa yang ngirim barang ke aku? perasaan nggak pernah nerima barang apapun'. dalam hati pertanyaan itu muncul. aku melihat sebuah kotak, sedikit panjang. berbalut kertas kado berwarna krem dengan perpaduan pita di atasnya terlihat begitu menawan. seketika aku jadi teringat dengan secarik kertas yang diberikan Andri waktu itu. 'tapi ini dari siapa?', tanyaku dalam hati. ku raih kotak itu, dan perlahan aku buka. mataku terperanjah. aku kira berisi barang berharga, ternyata setangkai mawar putih yang masih segar dan harum. ku ambil mawar itu perlahan. di bawah, terselip sebuah kertas.
                           Ku coba sedaya
                           Agar dirahmati perhubungan yang telah terbina
                           Karena pasti aku
                           Yang akan merasa pedihnya kehilangan insan sepertimu
         aku tersenyum membaca kertas itu. "Andri. . .", spontan aku teriak keras di depan rumah. tiba-tiba sosok laki-laki itu muncul dari samping halaman rumahku. ia tersenyum kepadaku dengan gayanya yang sangat khas.
"terimakasih atas pengertianmu selama ini."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar