"Dek, aku mau jujur."
Perlahan,
laki-laki itu mendekatiku. Memposisikan diri duduk di sampingku. Diam sejenak.
Seakan berusaha merangkai kata. Entah, sedikit terasa berat wajahnya. Sementara
aku hanya diam, mencoba menghormatinya tanpa mengajukan sepatah katapun.
"Maaf, tapi mungkin ini perlu kamu tau, dek. Daripada kelak jadi masalah
lagi."
Ia
perlahan mengangkat kepalanya. Memberanikan diri menatapku. Dalam. Dalam sekali
tatapannya. Ada rasa tak tega dan bersalah melihatku. Sinaran matanya
menyiratkan berjuta cerita. Aku berusaha untuk tegar. Tak satu katapun ku
keluarkan. Hanya mampu memendam amarah dalam hati.
'Ya Allah. . . Apalagi ini? Tidakkah semua ini sudah cukup? Masalah? Mungkinkah
semua itu kan kembali diungkit?'
Tiba-tiba
kegundahan itu kembali hadir menyapaku. Cemas. Rasanya hati ini mulai menolah
semua ucapannya.
"Udah deh, nggak usah pake muter-muter. Apa lagi? Jangan pake dramatis
gini."
"maaf, dek. Aku nggak tau harus memulai dari mana. Tapi ini perlu aku
sampaikan."
"dari manapun. Silahkan"
"sebenernya, dulu. . ."
Terlihat
pancaran matanya sangat berat sekali mengungkapkan hal itu. Bahkan sangat
terbata dan tak kuasa.
"Dulu. . . Aku yakin, dengan kedekatanku padamu, semua akan berubah. Aku
yakin bisa terus bersamamu. Kamu cerdas, ramah. Kamu beda dengan yang lain.
Tapi aku masih kepikiran seseorang."
Ucapan
itu seperti tertahan. Sesekali ia memperhatikan sorot mataku, yang sedari tadi
hanya fokus mendengarkan dan memang tak mau tau gimana ekspresinya ia bercerita.
Rasanya hati ini sedang dilalui jarum kecil. Perih, tapi tak terlihat. Hanya
mampu merasakan, tapi tak mampu menyaksikan.
"Sudahlah. Aku sudah nggak mau tau tentang hal itu. Bukankan semua udah
usai? Apalagi maksudnya kamu nyeritain itu ke aku? Seseorang? Seseorang yang
mana? Terlalu banyak wanita yang sering ku dengar dan kau sebut selama
ini."
"Aku cuma mau memperjelas maksudku. Aku nggak mau nyakitin kamu?"
"nggak mau nyakitin dari mana? Bukankan sudah begitu jelas?"
"tolonglah, dek. Dengarkan dulu penjelasanku."
Nadanya
sedikit menaik. Entah, mungkin karena aku yang memicu kemarahan. Tapi, memang
seperti itulah kenyataannya. Keputusan yang ia ambil beberapa hari yang lalu
masih menyimpan banyak pertanyaan dan membuatkan tidak terima. Suasana menjadi
sangat hening. Tak ada lagi yang memulai bicara setelah nada tinggi itu ia
lontarkan.
"maaf",
ia mulai mengawali kembali pembicaraan.
"mungkin kamu terlalu baik. atau mungkin terlalu percaya kepadaku. aku
nggak tau pasti. tapi, kamu tak pernah menaruh sedikitpun curiga kepadaku.
padahal, di balik itu semua, sebenarnya aku menyimpan kebohongan."
Kembali.
Suara itu sedikit tertahan. Tapi, semua ku biarkan mengalir. Aku ingin ia
usaikan dulu ceritanya.
"Aku masih kepikiran dengannya. . . Wanita itu. . . Entahlah, kenapa aku
masih memikirkannya saat di sampingmu. Padahal, semua aku dapat darimu."
"Maafkan aku, aku tak tau harus bagaimana. Tapi aku tak mau menyakitimu
untuk kedua kalinya. Aku nggak mau hubungan ini terus berjalan sementara aku
masih memikirkan yang lain."
"oh? oke, no problem. makasih."
Sebenarnya,
banyak kata yang ingin ku ucap. Tapi, entah kenapa berat sekali mengucapkan
sepatah kata saja. Dada ini rasanya sesak. Rasa tangis yang tak tertahankan.
"Bukan seperti ini caranya. Kalau itu alasannya, kenapa nggak dari dulu
kamu sampaikan?"
Ku
ucap kata itu sembari ku paksa badanku untuk berdiri. Aku tak ingin meneteskan
air mata dihadapannya. Aku berusaha pergi dari tempat itu sebelum rasa sakit
ini tak tertahankan lagi. Laki-laki itu juga mengikutiku berdiri. Mencoba untuk
memintaku duduk kembali. Tapi aku tak menghiraukannya. Lamat-lamat, kembali ku
dengar kata maaf darinya.
***
Ku
coba merebahkan badanku di tempat tidur. Ku biarkan diriku menangis, menyesali
dan kembali mengingat perjalanan yang pernah kita lalui bersama. Sebuah
perjalanan yang tak pernah terbanyang akan menjadi seperti ini. Ada batu besar
yang sama sekali tak tampak di depan mata.
“Ya Allah, salahkan aku mempercayakan hati ini padanya? Salahkan aku tidak
menaruh rasa curiga dengan sikapnya?”
“tapi, kenapa semua harus seperti ini? kenapa kepercayaan itu menjadi tak
bernilai?”
Aku
meraih buku bersampul biru di samping tempat tidurku. Buku yang penuh sejarah,
sejarah perjalananku dengannya. Masih dengan mata yang berkaca-kaca, ku coba
baca ulang cerita itu. Tak ada satu haripun dalam buku ini yang menceritakan
tentang pertengkaran. Semua baik-baik saja, berjalan begitu apiknya.
“apa yang kamu mau? Apa maksud semua ini? apakah kebaikan dan kebersamaan kita
itu hanya akan kau balas dengan seperti ini?”, aah. . .masih terlalu banyak
pertanyaan yang ingin ku lontarkan. Tapi tak tau, kepada siapa aku harus
bertanya.
***
Aku
hanya berusaha untuk menerima. Entah, keputusan itu benar atau salah. Mungkin,
ini yang terbaik untukku. Tak sedikitpun tersimpan rasa benciku kepadanya,
karena aku sangat menghormatinya. Saat bersama, hingga kini, saat dia pergi. (To Be Continue)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar