Jumat, 21 Juni 2013

[Cerpen] Amara


Sore itu, awan gelap menyelimuti hamparan langit. Sang surya tak berani menampakkan dirinya. Petir sesekali mengeluarkan suara gemuruh. Mengelegar. Keras. Seakan menyambar pepohonon di luar sana. Hujan deras mulai mengguyur kota kecil yang sangat padat dengan industri pertambangan. Angin dengan kecepatan tinggi berhembus, membuat pepohonan di sekitar taman kota bergerak mengikuti alunan angin.
Sore itu, langit seolah-olah marah. Menyertai perasaan Amara. Gadis manis yang duduk sendiri di taman kota sejak sejam yang lalu. Tertunduk. Kesedihan seakan menyelimuti hatinya. Derasnya air hujan tak membuatnya beranjak dari tempat duduknya. Gundah. Air mata jatuh membasahi lesung pipinya. Sembab. Matanya terlihat merah. Wajahnya pucat. Sesekali ia mengambil tissu dari dalam tasnya. Menghapus air matanya, tapi semua itu tidak berguna !! hujan deras yang mengguyur taman kota itu telah melunturkan make-up dan air mata yang melekat di pipinya. Wajahnya sangat pilu. Terlihat ia kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Tapi apa? Entahlah, saat ini hanya dia yang tahu. Orang yang berjalan di sekitar taman tidak terlalu memperdulikannya. Mereka sibuk melindungi diri mereka dari guyuran air hujan.
“Ya Allah, apakah ini sebuah karma?”, ucap Amara lirih. Tertunduk. Ingatan masa lalunya muncul silih berganti. Memenuhi isi kepalanya.
“Allah, sesungguhnya Engkau-lah Dzat yang mengetahui semuanya. Engkau yang telah mengatur semua ini. Engkau yang memberikan cobaan ini. Tapi aku tak mengerti, aku tak mengerti dengan semua ini, ya Allah”
Amara menangis sesenggukan. Sendiri. mencoba menghayati dan menikmati dengan apa yang dia lakukan saat ini. Di tengah derasnya air hujan.
“Aku tak pernah merasa melukainya. Aku tak pernah merasa menyakiti hatinya. Bukankah aku selalu berusaha untuk selalu menghormatinya? Mencoba mengerti akan semua sikapnya. Aku selalu berusaha untuk tidak banyak menuntut. Tapi kenapa semua ini harus terjadi? apa maksud semua ini?”
Amara menatap langit. Meminta penjelasan kepada penguasa langit. Tak peduli dengan derasnya air hujan yang mengguyur tubuhnya. Tak peduli dengan badannya yang mengginggil kedinginan. Dia ingin mengetahui semuanya. Laksana hal yang mustahil terjadi. tak pernah sedikitpun terbesit dalam pikirannya tentang hal itu. Asa dan harapannya seolah terhapus hari itu juga. Ia tak lagi mempunyai semangat hidup. (to be continue)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar