Minggu, 23 Juni 2013

#ManajemenDiriManajemenHati


Malam ini. kembali, tak tau tema apa yang harus ku sampaikan. Hari yang padat dengan kegiatan. Sampai rumah. Naruh tas. Bermaksud mau segera nulis. Seeettt, lihat jam ternyata udah menunjukkan pukul 22.05

Jelas. Yang pertama, telat dari waktu yang ditentukan. Yang kedua belum tau apa yang mau aku tulis. Yang ketiga, rasanya hati dan fisik sudah terlalu lelah. Tapi nggak mau mangkir, aku mencoba memaksa diriku untuk berbagi.

 

Sabtu, 22 Juni 2013

Aku rasa, banyak sekali pelajaran hidup yang aku temukan hari ini. Pelajaran hidup baik fisik maupun hati yang membuatku tersadar betapa lemahnya seorang manusia. Tak ada manusia di dunia ini yang begitu perfect. Semua ada kekurangan. Bukan begitu? Aku rasa semua akan sependapat. Sehebat apapun orang itu, sebaik apapun orang itu, pasti ada kekurangan dalam dirinya. Karena memang yang sempurna hanya milik Allah ta’ala.

Di mulai aku sama sekali nggak ingat kalau hari ini tanggal 22 Juni. Yang aku ingat hanyalah hari sabtu. Sabtu dengan 3 agenda yang sudah aku rencanakan sejak kemarin-kemarin. Sekali lagi, aku tak mengingat kalau hari sabtu ini adalah tanggal 22 Juni.

Pagi tadi, aku ada janji belajar bareng sama teman-teman kelas. Jam 8.00 pagi. Malam sebelumnya udah niat mau on time. Tapi, ketika pagi menyapa, jam 06.00 pagi udah di SMS temen-temen HRD UKM Penelitian, ada yang tanya gimana konsepan ntar sore, ada yang nyuruh buat smsin temen-teman lain untuk konsepan ntar sore. Maklum, hari ini ada salah satu teman kita yang mau dirayain ulang tahunnya, lebih tepatnya kita mau acting buat ngucapin selamat ulang tahun ke dia. Sms berlanjut lumayan lama, hingga akhirnya aku tiba di kampus pukul 08.15

Sampai di kampus, aku belum melihat satu temanpun ada di sana. “ini jadi pada mau belajar nggak ya?” pikirku dalam hati. Aku putuskan untuk menunggu mereka sampai jam 08.30 kalau belum pada datang aku mau ke SC, buat belajar yang lain. Akhirnya beberapa saat kemudian ada dua orang temanku datang dan kemudian muncul satu per satu. Satu hal yang dapat diambil hikmahnya itu, ngasih ilmu itu kalau bisa jangan setengah-setengah, karena hasil presepsi orang beda-beda (hasil belajar perpajakan yang banyak tarif dan beda buku beda tarif -_-)

Setelah agenda pertama selesai, aku berniat untuk persiapan agenda kedua, agenda spesial siih soalnya J aku bermaksud untuk makan siang terlebih dahulu dengan teman-temanku, eeeehh, setelah semua temanku mendapat makanan dan hampir habis.... aku sama sekali belum dapat, aku sih berfikirnya mungkin karena aku pesannya beda. karena lama, aku tanya ke penjualnya, dan ternyata LUPA (ooh, penantian yang tak bermakna)

            Menginjak acara kedua, aku langsung meluncur ke TKP. Sampai sana udah ketemu sama satu teman, sesaat ngobrol ngalor ngidul. Tiba-tiba ada sms. “Kamu dimana?” spontan aku jawab, “Di mxsmxxx”. Aku kira dia mau belajar perpajakan lagi, soalnya keburu-buru tadi pas belajar. Sms berlanjut, “ngapain?” singkat banget. “xxxx” jawabku padanya, kemudian dia membalasnya dengan senyum, tau maksudnya. Acara kedua sih, lumayan lancar. lanjut aku berfikir untuk konsep acara ketiga, tapi sebelumnya aku menunaikan sholat ashar terlebih dahulu. Sebelum aku beranjak pergi, tiba-tiba temanku tadi sms suruh menemui. Aku menghampirinya.

“Kamu ikut acara Lxxxxx?”

“Iya....tanggal 22 kan?”

“tanggal 22 kapan? Acaranya kan tanggal xx sampai xx?”

“Lho? Kemarin di undangan kan 22 juni?”

“iya, 22 juni kan sekarang. kan tadi acaranya. Kamu nggak bisa ikut karena ikut xxxx, jadi gapapa.”

Aku bengong. Memutar otak. 22? Sekarang? oh, iya. 24 itu kan besok senin. Temanku sembari menyodorkan selembar kertas.

“aaaa, aku lupa kalau sekarang tanggal 22. Kamu tadi kok nggak bilang sih?”

“ya, aku kan nggak tau. Jadi kamu tadi nggak ikut gara-gara lupa atau ijin ada acara xxxx?”

Aku hanya tersenyum. Untung, lupanya itu digunakan untuk acara itu, coba kalau nggak acara itu. kalau verifikasi SNMPTN udah di blacklist kayaknya. Setelah kejadian itulah aku baru sadar kalau sekarang tanggal 22 juni.

Diacara ketiga, menurutku berjalan terlalu mulus. Adegan yang tidak sesuai dengan skenarionya. Tapi aku merasakan rasa memiliki di tempat itu dengan sedikit kejutan buat teman kita yang lagi milad.

Aku yang seharusnya nangis, mbak xxx yang seharusnya marah dan keluar forum. Aku yang seharusnya dimarahin. Hehe, tapi jadinya di luar skenario. Semuanya. :P

Dan yang paling membuatku harus pedih adalah saat aku malam membuat temanku menangis. Sikap kadang tak selalu sesuai. Sikap baik tak selamanya baik. Sikap buruk kadang menjadi baik. Nyesel kalau sampai buat nangis orang. gara-gara sikap yang tak sesuai dan kepekaan yang kurang.

 

#ManajemenDiriManajemenHati :)

Jumat, 21 Juni 2013

[Cerpen] Amara


Sore itu, awan gelap menyelimuti hamparan langit. Sang surya tak berani menampakkan dirinya. Petir sesekali mengeluarkan suara gemuruh. Mengelegar. Keras. Seakan menyambar pepohonon di luar sana. Hujan deras mulai mengguyur kota kecil yang sangat padat dengan industri pertambangan. Angin dengan kecepatan tinggi berhembus, membuat pepohonan di sekitar taman kota bergerak mengikuti alunan angin.
Sore itu, langit seolah-olah marah. Menyertai perasaan Amara. Gadis manis yang duduk sendiri di taman kota sejak sejam yang lalu. Tertunduk. Kesedihan seakan menyelimuti hatinya. Derasnya air hujan tak membuatnya beranjak dari tempat duduknya. Gundah. Air mata jatuh membasahi lesung pipinya. Sembab. Matanya terlihat merah. Wajahnya pucat. Sesekali ia mengambil tissu dari dalam tasnya. Menghapus air matanya, tapi semua itu tidak berguna !! hujan deras yang mengguyur taman kota itu telah melunturkan make-up dan air mata yang melekat di pipinya. Wajahnya sangat pilu. Terlihat ia kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Tapi apa? Entahlah, saat ini hanya dia yang tahu. Orang yang berjalan di sekitar taman tidak terlalu memperdulikannya. Mereka sibuk melindungi diri mereka dari guyuran air hujan.
“Ya Allah, apakah ini sebuah karma?”, ucap Amara lirih. Tertunduk. Ingatan masa lalunya muncul silih berganti. Memenuhi isi kepalanya.
“Allah, sesungguhnya Engkau-lah Dzat yang mengetahui semuanya. Engkau yang telah mengatur semua ini. Engkau yang memberikan cobaan ini. Tapi aku tak mengerti, aku tak mengerti dengan semua ini, ya Allah”
Amara menangis sesenggukan. Sendiri. mencoba menghayati dan menikmati dengan apa yang dia lakukan saat ini. Di tengah derasnya air hujan.
“Aku tak pernah merasa melukainya. Aku tak pernah merasa menyakiti hatinya. Bukankah aku selalu berusaha untuk selalu menghormatinya? Mencoba mengerti akan semua sikapnya. Aku selalu berusaha untuk tidak banyak menuntut. Tapi kenapa semua ini harus terjadi? apa maksud semua ini?”
Amara menatap langit. Meminta penjelasan kepada penguasa langit. Tak peduli dengan derasnya air hujan yang mengguyur tubuhnya. Tak peduli dengan badannya yang mengginggil kedinginan. Dia ingin mengetahui semuanya. Laksana hal yang mustahil terjadi. tak pernah sedikitpun terbesit dalam pikirannya tentang hal itu. Asa dan harapannya seolah terhapus hari itu juga. Ia tak lagi mempunyai semangat hidup. (to be continue)
 

Kamis, 20 Juni 2013

Just for you, My Parents

Pagi itu suasana jalan Ki Mangun Sarkoro terlihat sangat padat. Melebihi hari biasanya. Mobil-mobil mewah terparkir memenuhi ruas jalan raya. jalan searah itu terlihat lebih sempit dengan bebarapa tempat parkir dadakan yang dibuat oleh warga. Di ujung pertigaan jalan terdapat dua polisi beratribut lengkap sedang mengatur lalu lintas. 
Belum ada pukul 9 pagi, salah satu sekolah swasta di Yogyakarta sudah dipadati oleh orang tua siswa. Kerumunan orang-orang di depan pintu gerbang membuat gedung yang berwarna hijau tua itu hampir tidak terlihat. Sebagian dari mereka ada yang segera menuju ke ruangan, sebagian lagi masih berbincang di halaman sekolah. Terlihat beberapa orang tua juga menunaikan sholat Dhuha di masjid sebelah selatan kantor kepala sekolah. Masjid itu juga berwarna hijau tua. Mungkin itulah alasannya mengapa sekolah ini dinamakan green campus.
Hari ini,  20 Juni 2009. Semua pelajar Sekolah Menengah Pertama di seluruh penjuru Indonesia akan menerima pengumuman hasil kelulusan mereka. Tidak terkecuali dengan sekolah yang sebelumnya pernah melahirkan putra bangsa yang mengharumkan nama Indonesia di negeri orang dengan alat pendeteksi tsunami yang ia buat.
Terlihat dari ujung selatan sesosok laki-laki  paruh baya sedang mengayuh sepeda. Melawan arus. Namun, itu sudah menjadi kebiasaannya. Karena hampir setiap pagi ia mengantar putrinya menggunakan sepeda berwarna biru tua kesayangannya itu. Beliau adalah bapakku, yang selalu memberikan motivasi kepadaku untuk menuntut ilmu. Kedua orangtuaku adalah alasanku menjadi seperti sekarang ini. Menjadi perempuan tangguh dengan cita-cita yang tinggi.
Bapakku lah yang sering menghadiri kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah. Tidak terkecuali dengan pagi itu, untuk mengambil hasil jerih payahku selama tiga tahun. Pengumumam hasil kelulusan. Dengan keinginan agar putrinya menjadi orang yang berguna di kemudian hari, tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya ketika harus menitih sepedanya di depan pintu gerbang sekolah sementara yang lain menggunakan mobil mewah dan sepeda motor.
Aku yang seharusnya mendampingi orangtuaku untuk mengambil pengumuman hasil kelulusan pagi itu mangkir dari tugas. Karena sudah ada janji dengan teman-temanku, aku memilih untuk pergi bersama temanku. Ya, pagi itu tepat hari ulang tahun salah satu temanku, Zahra namanya. itulah mengapa, aku rela meninggalkan moment-moment yang sangat menegangkan. Karena di samping aku yakin kalau aku lulus, inilah kesempatan terakhirku untuk menikmati masa SMP bersama teman-temanku. Tentu pergi bersama teman-teman juga moment yang sangat langka bagiku, karena aku masih terlalu pendiam dan tertutup.
Aku dan teman-temanku memutuskan untuk pergi ke suatu toko yang tidak jauh dari sekolah ini, berjalan kaki dengan sedikit candaan kita lontarkan tanpa sebuah skenario. Tibalah kita di sebuah toko, di daerah gayam. Sebagai wujud rasa syukurnya telah dikaruniai umur yang panjang, aku dan teman-temanku mendapat traktiran burger dari Zahra. Sembari menunggu pesanan, obrolan demi obrolan kami lantunkan. Walaupun di dalam hati sedang bergejolak. Gelisah. Makanpun tak enak, tapi canda dan tawa itu muncul untuk sedikit melepasnya.
Belum ada kesempatan untuk menikmati makanan yang kita pesan, salah seorang temanku mendapat sms dari orangtuanya, bahwa kelulusan sudah diumumkan. Mendengar kabar itu, kita sepakat untuk menyusul orang tua kita kembali ke sekolah. Tidak lupa untuk membawa makanan yang sudah kita pesan.
Grogi. Keringat dingin dalam tubuhku mulai bercucuran. Aah, bukan tak lulus yang aku takutkan. Tapi takut dengan nilai yang tidak memuaskan orangtuaku. Pikiranku berkecamuk. Gelisah. Bahkan jantung ini berdetak lebih kencang. Mungkin melebihi bertemu dengan pujaan hati. Awalnya aku dan teman-temanku hanya berjalan biasa, dengan irama agak cepat. Namun, terlihat dari jauh sekolah itu sudah kembali terlihat berjubel orang di halaman. Akhirnya aku memutuskan untuk berlari dan diikuti dengan teman-temanku.
Sesampainya di depan sekolah, aku dan teman-temanku berpencar. Mencari orangtua kita masing-masing. Mataku mulai bekerja. Mencari ke segala arah. Dari pintu gerbang utara, aku berlari menuju pintu gerbang selatan mencari Bapak. Aku rasa Bapak juga mencariku, karena semua orangtua sudah keluar dari ruangan dan bersama putra-putrinya.
Terlihat di dekat pohon sebelah tempat wudhu seorang laki-laki yang sesekali memalingkan badannya ke barat dan timur. Sedang mencari sesuatu. Perlahan aku mengamati orang itu. Setelah aku yakin kalau itu Bapakku, aku berjalan menghampiri beliau. Dengan jarak yang begitu dekat, beliau sadar kalau orang yang  sedang menuju ke arahnya adalah putrinya, beliau juga menghampiriku.
Tak satu katapun yang beliau ucapkan waktu itu. Hanya menghampiriku dengan mata yang berkaca-kaca. Tangis yang terpendam. Tiba-tiba beliau memelukku. Pelukan yang tak biasa. Aku belum tahu, apa yang terjadi dengan hasil kelulusan. Berkecamuk rasa penasaran dibarengi rasa gelisah itu muncul dalam benakku. Kenapa bapakku menangis? Kenapa tak satu katapun beliau sampaikan untukku? Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Nilaiku?”
Hanya kata itu yang mampu aku ucap. Entah kenapa, aku juga turut terharu dengan keadaan itu. Akhirnya air mata itu turut menetes membasahi pipiku. Bapak belum mengucapkan sepatah katapun. Beliau mencoba mencari kertas yang diperoleh tadi dalam sakunya. Kemudian disodorkan kepadaku.  Tak aku baca tulisan kecil yang ada di kertas itu. aku hanya sekilas membukanya. Di bagian atas tertulis nomor ujian dan nama yang ditulis dengan huruf kapital. RIQI ASTUTI. Di bagian tengah tertulis LULUS dengan nilai 35,10.
“Alhamdulillah, Nok. Kowe entuk juara.”
Aku terkejut dengan ucapan yang beliau sampaikan. Juara? Apa maksudnya? Juara ujian? Dalam hati pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Tapi sengaja tak aku lontarkan kepadanya.
“Saiki mlebu meneh wae. Mau digoleki gurumu.”
Sekarang aku yang tak mampu mengungkapkan sepatah katapun selain ungkapan rasa syukurku kepada-Nya tak henti-hentinya dalam hati. Tanpa berfikir panjang, aku mengajak Bapak untuk kembali ke ruangan. Menemui  guruku.
Aku berjalan dari pintu gerbang sekolah menuju ruang pertemuan. Rasa terharu itu muncul ketika dalam perjalananku, aku bertemu dengan beberapa temanku yang sedang bersama orangtuanya. Dalam keadaan masih menangis karena merasa berhasil telah menuntaskan studi selama tiga tahun, beberapa temanku menjabat tanganku dengan ucapan “selamat” kemudian diikuti oleh orangtua mereka. Malu sekaligus bangga rasanya ketika hal itu terjadi. Dengan gesit aku mencoba membalasnya dengan ucapan yang sama kepada mereka. Ahh, tapi rasanya ingin mengumbar senyuman dengan seikhlas mungkin ketika beberapa orangtua dan temanku berjabat tangan dengan Bapak dan mengucapkan selamat atas keberhasilan beliau. Dalam hati, ucapan selamat itu juga muncul. ‘Selamat, Pak. Telah berhasil mendidik putrimu dengan jerik payah yang engkau lakukan.’
Segera aku berlari menuju ruangan ketika aku melihat di dalam ruangan itu ada beberapa temanku. Teman seperjuangan. Di sana, di depan meja juga terlihat sosok guru yang luar biasa. Sosok guru yang sangat menginspirasi. Menyejukkan. Kesabaran dan motivasi yang beliau berikanlah yang mampu memberikanku semangat belajar dan akhirnya mampu meraih hasil yang sangat beliau harapkan. Bu Mimi nama guru itu. walaupun baru satu setengah tahun menjadi anak didik beliau, banyak pengalaman dan pelajaran hidup yang aku peroleh darinya.
Aku berdiri sejenak di depan pintu, mencoba mengamati satu per satu isi ruangan dan orang-orang yang ada didalamnya. Kemudian segera aku berlari menghampiri guruku.  Tanpa isyarat. Tanpa skenario. Pelukan penuh kasih sayang itu kembali aku peroleh. Kali ini dari orang yang sangat menginspirasi bagiku. Dadaku yang masih sesak memendam rasa tangis itu, akhirnya aku tumpahkan di tempat itu. Tangis kebahagiaan. Tangis ucapan terima kasih. Walaupun hanya sesaat, tapi mampu melegakan. Ucapan saling berterima kasih itu akhirnya muncul diantara kami. Terima kasih telah menjadi wali kelas sekaligus guru yang selalu memotivasi agar dapat memperoleh yang terbaik. Terima kasih telah menempati janjinya untuk memperoleh nilai 10.
Di ruang kelas itu. ruang perjuangan itu. walaupun terletak di sudut barat dan di apit dengan ruang piket dan kamar mandi yang membuat ruang kelas menjadi gelap, tetapi bagi kami itulah ruang perjuangan. Ruang penuh kenangan. Ruang kelas IX A. Selama kurang lebih 8 bulan kami dijejali dengan materi-materi ujian nasional di tempat itu. Selama itu pula kami belajar bersama. Berjuang bersama untuk mencapai puncak tertinggi tujuan kami. Seisi ruangan yang kebetulan mayoritas kelas IX A saling mengucapkan selamat dan berbagi cerita. Ada beberapa yang bahagia dengan hasil yang diperolehnya, namun tidak sedikit pula yang menyesal dan sedikit tidak menyangka dengan hasil yang diperoleh. Sekali lagi, buka lulus atau tidak lulus. Tapi, persoalan nilai.
Banyak cerita yang kami bagi bersama teman-teman dan juga guru sekaligus wali kelas kami. Maklum, karena sudah menjadi tradisi sekolah itu biasanya satu hari setelah pengumuman ujian nasional adalah perpisahan. Dari mulai perasaannya setelah memperoleh hasil kerja keras yang dilakukan sampai persiapan untuk perpisahan esok kami obrolkan.
“Riqi, itu ibu bawakan baju sama sepatu buat kamu besok”, ujar Bu Mimi.
Aku sedikit terkejut. Baju? Sepatu? Dibawakan? Aku segera menengok ke arah sumber suara. mencoba menanyakan maksud dari ucapan itu dengan bahasa tubuh. Kemudian, Bu Mimi menyodorkan sebuah plastik berwarna hitam yang di dalamnya terdapat seperangkat perlengkapan kebaya.
“Subhanallah, kejutan apalagi ini? terima kasih ya Allah”. aku mengucapkan kata-kata itu dalam hati, tak lupa kembali ku ucap kata terima kasih itu kepada guru favoritku ini. aku tak menyangka sampai beliau rela membawakan seperangkat kebaya untuk perpisahanku esok. Memang sudah aturan yang turun menurut di sekolah ini, siswa yang memperoleh rangking 10 besar diberikan hak spesial untuk menggunakan baju kebaya (bagi perempuan) dan jas (bagi laki-laki). Sementara teman-teman yang lain menggunakan baju putih, bawahan hitam dan dasi. Hari ini, bahkan sebelum pengumuman kelulusan, beberapa temanku yang optimis bisa masuk 10 besar sudah memesan kebaya duluan. Sedangkan aku, walaupun optimis itu memang muncul, tapi sama sekali belum mempersiapkan. Bahkan aku tak tau bagaimana repotnya orangtuaku ketika tidak mendapatkan kebaya ini dari Bu Mimi.
Segera aku bawa bungkusan itu ke kamar mandi. Bermaksud untuk memastikan, pas atau tidak baju yang beliau bawakan. Aku buka perlahan bungkusan itu, kebaya berwarna merah marun, berbentuk sedikit memanjang di bagian depan dan dihiasi dengan payit-payit kecil. aku tersenyum melihatnya, merah marun? Hampir mendekati pink? Itu warna yang aku dambakan untuk kukenakan dalam perpisahan ini. kemudian aku mengeluarkan bawahan, bermotif jarik, dengan batik yang miring ke samping berwarna putih dan coklat. Di tepi garis dilapisi dengan bahan tertentu yang membuatnya terlihat menyala ketika digunakan. Di bungkusan yang satunya terdapat sepasang sepatu berwarna hitam. mirip sepatu yang dikenakan kalau pas pernikahan di desa-desa itu. karena aku pernah mengenakan sepatu seperti itu. dulu, ketika masih berumur dibawah 10 tahun untuk mendampingi pengantin. Segera aku coba seperangkat kebaya itu, lengkap dengan sepatunya. Aku tersenyum melihat aku sendiri di depan cermin, bagaimana jadinya aku besok mengenakan baju ini. lucu sekali. karena aku memang jarang menggunakan kebaya. Walaupun sedikit terlihat kebesaran, tapi semua itu pasti bisa diatasi oleh ibu, begitu pikirku. Aku memutuskan untuk mengenakan baju yang dipesankan guruku dalam perpisahan esok.

antara Fakta dan Fiktif

suatu ketika, saya lagi pengen survey kebutuhan pembaca akan sebuah novel.
apa sih sebenernya novel yang mereka inginkan tapi belum ada dipasaran.

satu jawaban menggelitik yang ingin saya ungkap.
"novel? Aku kurang tau sih."
"aku udah ga pernah baca novel."
saat itu saya mencoba terdiam. Saya tidak tau, apa maksudnya.
"soalnya novel itu fiksi"
jawaban yang sangat simpel. Simpel sekali. Sesimpel membalikan tangan. Tapi terlalu sulit dianalisis.

Tiba-tiba memory dalam otakku dengan cepat mengkaitkan dengan masa lalu. Ya, karena dulu pas ngaji pernah ada kultum tentang itu kalau ga salah.

ada seseorang yang mengharamkan atau menganggap itu bid'ah. Tepatnya lupa. Tapi alasannya cerita fiksi itu ga nyata.

iya sih, saya setuju. Fiksi itu memang ga nyata. Fiktif. Imajinasi. Fiksi itu katanya bayangan. Bayangan itu ga jelas. Ga jelas itu abu-abu. Abu-abu itu. . . .entahlah, masih banyak pendapat.

tapi, ada sebagian orang juga yang suka dengan fiksi. Fiksi itu membuat berfikir out of box. Fiksi itu menggugah. Fiksi itu inspiratif. Ah. . .juga masih banyak pendapat.

dari sisi pecinta nulis fiksi mungkin akan curhat.
aah, andai saja kalian tau. Andai saja kalian paham. Andai saja kalian mencoba mengerti.
fiksi itu tidak jauh dari fakta. Ya, tentu saja fakta dari orang-orang terdekat penulis, atau bahkan fakta dari penulis itu sendiri.

hanya saja. Fakta itu disamarkan. Fakta itu difiksikan. Dipoles sedikit, dirapikan. Dimanipulasi, diperbaiki. Ditambah dan dikurang. Agar lebih mudah dipahami. Agar lebih mengena dalam hati.

Lekaslah Sirna

Sesaat gerakan cekat tangan ini terhenti dalam mentata tumpukan buku dan map. Mata ini tertuju pada sebuah benda yang menyatu dalam tumpukan buku itu. Map berwarna biru muda. Polos. Di dalamnya terdapat tumpukan berkas. Sangat mengganggu. Aku terdiam. Rasanya ingin kembali ku ulang aktivitasku sedari tadi agar tak menemukan barang itu. Inginku memejamkan mata. Berharap barang itu lekas sirna dari pandanganku. Tapi, apalah daya. Semua tak mungkin terulang. Sudah terlanjur terjadi.

sesegera mungkin, ingin dengan cepat aku kembali menata tumpukan buku itu. Tidak terkecuali dengan map biru itu. Ingin ku masukan dalam tumpukan paling bawah dan tidak mudah tersentuh. Juga tidak mudah ditemukan.

ahh, tapi aku tak mampu menolak kata hati. Entah, atas dasar apa pula aku ingin melihat kembali berkas-berkas itu. Sekali saja -setelah kejadian itu- aku merasakan kembali perjalanan kala itu. Perjalanan penuh kenangan. Penuh kebersamaan.

tangan itu dengan hati-hati memberanikan diri untuk menyentuhnya. Pelan. Ku buka map dengan perasaan campur aduh. Berdebar. Jantung rasanya berdetak lebih dari biasanya. Memori dalam ingatan ini terpaksa harus terputar kembali. Hadir di masa lalu. Masa yang sudah aku tutup dalam lembaran hidupku. Masa yang aku anggap telah sirna dan pergi dalam potongan episode perjalananku.

lembar demi lembar aku buka isi dalam map itu. Sebuah buku catatan kombinasi warna biru dan pink menjadi urutan pertama dalam tumpukan itu. Dilanjutkan dengan setumpuk dokumentasi dan yang paling bawah terdapat sebuah buku kecil bertuliskan "kita dan perjalanan".

perlahan aku mencoba membuka buku catatanku. Satu per satu, lembar demi lembar. Pelan. Aku baca dengan seksama. Perlahan. Tanpa menghilangkan sebait kalimatpun.

Minggu, 16 Juni 2013

[Cerpen] Pupus part#3_Tamat



“La, itu Fezi. Nggaya banget sih dia.  Tasnya ditenteng kayak orang sukses aja.”
Mata Fara melirik ke arah timur taman itu. Spontan, Lila mengikuti lirikan mata Fara. Dihiasi dengan senyum yang indah. Senyum penuh makna.
“Emang udah sukses kali, Ra.”
“Feziii....”, Lanjut Lila sambil melambaikan tangannya. Bermaksud memberi tanda bahwa mereka ada di sana.
Laki-laki itu menengok dan segera menuju tempat Fara dan Lila duduk yang tak begitu jauh dari posisinya. Ia segera duduk di samping mereka. Meletakkan tas yang ia tenteng di meja taman.
“Hei, kalian kemana aja. Nggak pernah kelihatan?”, ujar Fezi mengawali pembicaraan.
“Kamu aja kali Zi yang nggak pernah kelihatan. Sok sibuk banget sih, sampai nggak pernah kumpul lagi.”
Sesegera mungkin Lila menjawab pertanyaan Fezi. Diikuti dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Indah. Terlihat ia sedang merasakan kebahagiaan. Bahkan mungkin bahagianya lengkap sudah kala itu. Sementara Fara hanya terdiam dan sesekali tersenyum. Ia ingin mencari jawaban atas pertanyaan malam itu. Sendiri. matanya sesekali memperhatikan gerak tubuh Lila.
“Maafkanlah daku kawan, banyak tugas dinas yang harus ku lakukan.” Fezi menjawab pertanyaan Lila dengan gaya sok bersalah, tangannya pun ia tengadahkan kepada mereka. Laki-laki ini, ia sangat berwibawa ketika menjadi pemimpin. Namun, ketika sudah diluar tugas, ia sangat supel. Gokil dan suka bercanda. Bahkan ketika ada yang mengenalnya hanya dalam pertemuan-pertemuan organisasi, mereka sering terkejut ketika baru pertama melihat Fezi di luar aktivitas organisasinya. Beda sekali. seperti mempunyai dua sisi yang berlawanan. Fara dan Lila tak henti-hentinya tertawa melihat ulah lucu seorang ketua BEM.
“Udahlah, Zi. Itu mah nggak penting. Ada yang lebih penting kok buat kita. Asal kamu mau, kita maafin deh kesalahan terbesarmu itu”, ujar Fara sambil bercanda.
“Penting? Emang apa yang penting?”
“Kamu menang lomba lagi kan?”
Hampir bersamaan dua gadis itu menjawab pertanyaan Fezi. Sesaat mereka berpandangan, merasa agak aneh. Tapi kemudian mereka tertawa.
“Ah, ini mesti ulah Lila. Dasar orang sok update”, Fezi menebak informasi yang mereka dapat. “Terus maksudnya apa kalau aku menang lomba?”.
“Halah, kok sok amnesia juga ya cowok yang satu ini. Biasalah, pajak buat kita.”
Mereka saling mengumbar senyum. Bersamaan. Sudah menjadi kebiasaan mereka, ketika salah satu ada yang menang lomba. Mereka selalu jalan bareng, atau sekedar makan bareng. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih atas semangat yang mereka berikan. Dalam kebersamaan mereka terikat sebuah visi. Visi bersama. Visi untuk selalu menjadi yang terbaik. Kapanpun, dimanapun. Jadi prestasi-prestasi yang mereka hasilkan merupakan buah dari mimpi mereka. Mimpi mereka bersama. Mengukir prestasi merupakan satu alasan mereka bisa bersama sampai saat ini.
“Iya. Iya. Oke deh. makan aja yuk, sekarang.”
“Gratis kan ya?”, Lila memastikan, sambil tersenyum dengan Fara.
“Iya, iya miss update.”

***
Warung makan sebelah kampus menjadi pilihan mereka. Tempat biasa mereka kumpul bertiga. Berdiskusi, mencari ide, dan berbagi pengalaman mereka lakukan di tempat itu. Saat mereka sudah berkumpul, tak jarang mereka lupa waktu. Maklum, pertemuan mereka dengan jarak yang lama menyisakan banyak cerita yang harus dibagi. Bahkan pemilik warung, Ibu Ginah sampai hafal dengan mereka.
“Lil, Ra, gimana kalian? Udah ikut kegiatan apa aja nih?”, Fezi membuka percakapan.
Dengan penuh semangat, Lila menjawab pertanyaan Fezi. Satu per satu kegiatan yang ia lakukan selama satu bulan terakhir ini ia ceritakan. Detail sekali. Dengan gaya ambisius. Menginginkan sebuah pengertian dan perhatian. Aah, malam ini semangat Lila benar-benar terpacu. Bahkan sampai ke titik puncak. Ingin semua ia sampaikan malam itu.
Sementara itu, malam itu berbeda sekali dengan Fara. Dia hanya terdiam. Mendengarkan dengan seksama cerita yang disampaikan Lila. Karena memang sebagian besar cerita yang disampaikan Lila adalah cerita mereka berdua. Sesekali Fezi memandangi Fara. Melihat ketidakbiasaan sikapnya.
“Kamu sibuk apa, Ra? Kok diam terus. Ga jadi seneng-seneng donk kita di sini.”
Tiba-tiba Fezi memotong cerita Lila dan menegur Fara. Sesaat, Lila langsung menghentikan pembicaraannya dan mengalihkan perhatiannya kepada sahabatnya.
“Iiih, Fara... Kamu kenapa coba? Sekarang kan udah waktunya kita berbagi.”
“Lebay kamu, Zi. Aku tuh baru dengerin Lila cerita tuh lhoo, antusias banget. sampai aku terpana gini, jadinya keliatan bengong.”
Mereka saling berpandangan. Diam. Sesaat kemudian, mereka tertawa. Tapi, Fezi merasa ada yang aneh. Entah apa. Ia tak tau pasti. Karena memang perempuan satu ini sulit terbuka dan terlalu pandai untuk menyembunyikan sesuatu.
Lebih dari 3 jam mereka terlalut dalam pembicaraan. Seperti borong ilmu. Usai pertemuan tiga serangkai ini, mereka mendapatkan banyak sekali ilmu baru. Pengalaman, sikap, perjalanan, perncapaian. Semua mereka dapatkan.

****

Aktivitas sore itu bersama Fezi dan Lila sudah menjawab pertanyaannya. Pertanyaan malam itu, pertanyaan yang sangat simpel. Pertanyaannya pada sang bulan. Bahasa tubuh, gaya bahasa, dan ambisiusitas Lila dalam bercerita menjadi jawaban atas pertanyaannya.
Fara kembali menatap langit. Melihat sang bulan. Menatap sang bintang dan menikmati gemercik air sungai. Sesaat ia terdiam. Ia mencoba meraih buku diary di sebelahnya. Bergambarkan bunga anggrek ungu dan dihiasi dengan pita di sekeliling buku. Indah sekali.
Di buka lembar demi lembar dalam bukunya. Dengan cepat. Karena ia sudah hafal apa isi diary-nya. Tapi ia terhenti membaca pada suatu lembar. lembar-lembar terakhir. Dalam diary itu tertanggal 14 Desember 2008 dengan judul “Mungkinkah. . .?”
Dalam diam, ia berharap. Dalam tangis, ia meminta. Dalam kesendirian, ia merenung. Terlalu lama ia memendam perasaannya pada Fezi. Mahasiswa yang sangat produktif. Dengan segudang prestasi dan setumpuk tugas yang diembannya. Tapi, terlalu pandai ia menyimpan, terlalu tertutup dalam perasaannya. Bahkan tak seorangpun yang tau. Ia terlalu setia dengan buku diary-nya. Segala perasaan dan kegiatannya selalu ia ceritakan dalam buku itu. Bahkan sejak dia SD, ia sudah sering menulis diary. Hingga kini, sudah buku diary kelima yang ia gunakan.
Fara tak ingin mempermasalahkan perasaannya. biarkan perasaan itu terus mengalir seperti air. Biarkan kelak kan berlabuh. dalam naungan yang lebih luas, seluas samudra. toh, ia merasa tak ada seorangpun yang tau kalau Fezi adalah dambaan hatinya. Begitu juga Lila, menjadi hal yang sangat tabu bagi Fara bercerita tentang perasaannya pada orang lain. Biarkan perasaan itu mengalir hingga ke pelabuhan terakhir, akankah habis terserap tanah, ataukah masih tersisa hingga ujung waktu. ia tak ingin Lila tau perasaannya dan mengubah atau bahkan merusak persahabatannya.
“Sudahlah, lupakan. Toh, mereka masih sahabatku. Bersama mereka sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku.”
*************TAMAT************


Sabtu, 15 Juni 2013

Karena MedJa Punya Cerita



[Baca dan jangan lewatkan sebaris katapun dalam tulisan ini, atau akan kehilangan keindahan cerita]

"ceria, bikin ganbatte, allahuakbar"
Mungkin, kata itu yang kini menjadi pengikat kita. Pengikat akan padatnya aktivitas dan lelahnya raga menjalankan. Tapi, di sinilah semua itu bermula. Menjalin ukhuwah, membentuk keluarga baru. Kata itu, mungkin tak memiliki makna apa-apa, bahkan mungkin tak ada artinya. Tapi, bagi saya, itu kata-kata bersejarah. Ingatkah kalian? Bukankah kata itu yang mengawali kebersamaan kita? Yang mampu mengikat dan memupuk kekeluargaan kita yang masih seumur jagung ini.
Bermula ketika upgrading pengurus, kita mengukir cerita, mengukir canda, tawa, lelah bersama. Mungkin ini skenario allah, yang mempertemukan kita dalam keadaan suka sekaligus duka (ehh, lelah deng).
Spontanitas, ketika DPO meminta setiap departemen membuat jargon dan yel-yel, "ceria, bikin ganbatte, allahuakbar" menjadi pilihan kita. Sebenarnya dulu sudah dibuatkan sama ujang, tapi banyak yang belum tau musiknya dan susah menghafal dalam waktu yang singkat. Akhirnya kita memilih kata yang singkat dan mudah diingat.
Sudah menjadi skenario DPO, bahwa keberangkatan kita menuju tempat upgrading diserahkan pada kita. Dengan modal 10.000 per orang, peta tujuan dan satu media (HP) kita dipersilahkan menuju lokasi. Akhirnya, kita memutuskan untuk naik transjogja dan dilanjutkan dengan naik bus jogja-solo.
Mungkin, ini menjadi skenario Allah, bahwa departemen kaderisasi harus menjaga sdm didalamnya. Saat kita belum dapat bus, kita sudah disusul oleh departemen kaderisasi. Akhirnya kita naik transjogja. Dua departemen, media dan kaderisasi. Seperti bus sewaan, isi dalam bus itu mayoritas dari km al fatih. Tapi, kita akhirnya berpisah. Kita turun di halte (lupa namanya) untuk menunggu bus jogja-solo. Sedangkan dari departemen kaderisasi masih lurus. Sebenarnya, satu tujuan (untuk menunggu bus jogja-solo) hanya saja tepat nunggunya berbeda.
Sembari menunggu bus lewat, kita berinisiatif untuk foto terlebih dahulu. Aah, mungkin begitu setianya anak kaderisasi. Ternyata, tanpa kita sadari, kita ketambahan satu orang. Ada satu anak kaderisasi yang turun di halte bareng kita, namanya vita. Kalut dan bingung, bukan apa-apa, yang jadi pertanyaan utama adalah, "emang uang kita cukup nggak?".
Akhirnya kita naik bus jogja-solo. Perjalanan yang belum seberapa, kita melihat di depan ada rombongan yang menunggu bus, dan itu ternyata teman-teman dari kaderisasi. Pada akhirnya, Vita dapat kembali bersama rombongannya, canda dan tawa seketika muncul.
Lagi-lagi, pertemuan harus ada perpisahan. Karena tidak tau jalan (walaupun tau tempat) akhirnya, kita turun di tengah perjalanan. Kirain sudah sampai. Turun tepat di indomaret. Tapi, ketika melihat tulisan di jalan tertulis "jalan solo KM 10". What??? KM 10? :o padahal lokasi upgrading adalah KM 13. Dengan diskusi yang tidak terlalu panjang, akhirnya kita memutuskan untuk menjadi penjelajah. Sang penakluk jalan. Berlajan kaki sebanyak 3 KM.

Tapi banyak hal yang kita peroleh dalam perjalanan itu, utamanya adalah angel untuk foto, banyak lokasi yang bagus untuk pengambilan gambar. Di samping itu, kita juga punya satu cerita lucu. Melihat jalan solo yang begitu lurus dari ujung barat ke ujung timur, dan ada trotoar di tengah jalan yang lurus mengikuti jalan. Inisiatif kita pun muncul. Berjalan di tengah jalan. Akhirnya, kita sama-sama berpindah haluan untuk menjadi penguasa jalan. Berjalan di tengah-tengah jalan raya. Tapi, saat itu terjadi misscom dengan kadept kita, mas adit. Mas adit malah nyebrang sampai keujung selatan. Selama 1,5 km kita berjalan terpisah, kita ada di tengah dan mas Adit ada di pinggir selatan (sendiri).

Bukan anak medja namanya kalau tidak berfikir out of box. Melihat kejadian itu harusnya kita merasa kasian tapi malah kita manfaatkan untuk foto-foto. Sudah kita setting sebelumnya memang, dengan kostum kerudung merah (putri), baju putih dan bawahan hitam. Anggel yang pas dengan posisi yang tidak biasa. Di tengah jalan. Kata mas Risang sih, "kayak lampu taman berjalan".

Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya sampailah kita pada ujung penantian selama 2jam-an. KM 13. Oke, sampai di tempat itu kita melihat ada pohon yang cukup teduh. Cukuplah sebagai tempat istirahat sementara kita sebelum melanjutkan perjalanan. Karena uang kita masih sisa, akhirnya kita putuskan untuk beli es. Sedikit melepas dahaga kita selama perjalanan, ditemani teriknya matahari yang begitu setia.

Entah, karena niat kita yang udah tidak di ridhoi atau terlalu lama dalam perjalanan. Di tengah istirahat, kembali inisiatif itu muncul.
"kita tunggu aja di sini. Nanti kita kerjain departemen lain. Kita pura-pura ditugaskan untuk menjaga pos ini sama DPO."
Tanpa berfikir panjang, akhirnya kita menyetujui ide itu. Secara kita kelompok pertama yang berangkat menuju lokasi, pasti di belakang kita masih ada sekitar 4/5 kelompok. Jadi kita santai-santai saya beristirahat.
Tapi, sangat memalukan, ide cemerlang kita tidak direstui. Tiba-tiba ada DPO yang naik motor dari lokasi. Setelah kita tanya di lokasi sudah ada berapa kelompok. Terjawablah, di sana sudah ada 5 kelompok. Apa? 5 kelompok? Itu berati kita kelompok terakhir yang sampai? Segera kita menyusun strategi untuk menjawab pertanyaan dan membela diri ketika sampai di lokasi. Secara, sangat tidak logis ketika berangkat pertama sampai terakhir kalau tidak kesasar.
Kita akhirnya melanjutkan perjalanan, yang ternyata masih sekitar 2 km menuju lokasi. Tapi, ada hal yang tidak biasa yang kita lakukan, foto di tengah rel kereta api. Ahh, itu mungkin angel yang sulit di peroleh sama teman-teman yang lain. Banyak cerita, canda dan tawa diantara kita, hingga akhirnya, kita sampai di lokasi. Total perjalanan 5 km.
Melelahkan, tapi lelah itu terbayar dengan kebersamaan.

***
Cerita hari kedua

Kala itu, memang tidak semua hadir. Squad medja hanya ber-7. Yah, akhirnya penugasan seadanya dan sebisanya. Karena kita tidak membawa ubi, jagung ataupun pisang, penugasan yang diberikan DPO, kita tidak mendapat bagian sarapan. T.T

Untung sarapannya di tempat terbuka, jadi kembali lagi medja beraksi. Karena tidak sarapan, kita putuskan waktu sarapan digunakan untuk foto-foto.
Ahh, mungkin medja terlalu identik dengan kenarsisan (kecuali saya). Tapi semua membuahkan hasil, entah karena dpo kasihan sama medja yang melakukan perjalanan 5km, atau memang medja tercetar mebahana, akhirnya kita memperoleh penghargaan departemen ter-oke. :D