Minggu, 08 Februari 2015

Sunset di Parangtritis



Sabtu, 7 Februari 2015
 Siluet senja mulai menyapa di pantai selatan. Langit di ujung barat mulai berwarna orange. Sang surya pun perlahan mulai berpulang. Ditemani deburan ombak yang tenang. Matahari turun. Pelan. Warnanya mulai sempurna. Orange. Subhanallah. Sunset-pun menyapa Parangtritis.
“Walaupun berempat juga pasti akan menyenangkan.”
Begitulah pesan salah seorang teman ketika mulai pesimis untuk mengunjungi tempat itu. Hmm, bagaimana tidak? Niatnya mau maen berbanyak, eeh ternyata banyak yang nggak bisa. Bukan deng. Timing-nya aja yang nggak tepat :3 yang pada akhirnya berempat beneran. Septi, Yudik, Meta, Asti. Walaupun semula berempat itu sama mas Huda. Tapi, dia-pun punya alasan sendiri buat nggak ikut.

Mungkin iya, maen yang ‘terlalu’ direncanakan itu malah terlalu banyak pula pertimbangannnya. Paitnya, berujung pada...batal.
Perjalanan yang sudah direncanakan dengan rapi. Pagi, bantuin temen-temen pengurus UKM Penelitian bersih-bersih bentar, siang berangkat, ke rumah Septi. Sore cuss ke Parangtritis, lihat sunset.
Hmm, memang rencana itu kadang tak sesuai dengan kenyataan.
Setelah bercakap dengan orang yang diajak, melalui sms. Ada yang tiba-tiba memeng adapula yang beda presepsi dengan siang. Ahaha. Ada-ada aja. Yang pada akhirnya mas Huda pun fix untuk nggak ikut. Bingung. Terus Meta gimana? :D

Untungnya Dzuhur-pun segera menyapa. Pilihan yang tepat. Sholat! Daripada bingung harus kek gimana mending berduaan dulu sama Allah :3
Lalu, masihkan kau ragu dengan pertolongan-Nya?
Alhamdulillah. Keputusan dengan pikiran yang jernih. Setelah Sholat. Terima kasih dek Enny atas pinjaman motornya. Maaf molor dari perjanjian pengembalian :3

13.15 WIB
Perjalanan pun dimulai. Menuju Pundong. Berkunjung ke rumah teman dan sahabat kami, Septi Kiswandari. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya tibalah pada tempat tujuan. Walaupun ada insiden nggak tau jalan –sebenernya sih, aku udah pernah ke sana, tapi nggak bisa ngapal jalan – hehehe
 Ah. Lagi-lagi. Ciptaan-Nya itu Indah.
Perjalanan menuju Pundong disuguhi dengan bentangan alam yang serba hijau. Kanan kiri jalan memberikan suguhan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Pun ditemani dengan bukit-bukit kecil yang hijau dan sepertinya belum terjamah oleh tangan dan kaki manusia :3
Satu hal yang tiba-tiba muncul dalam perjalanan.
Beginilah kuasa-Nya. Selalu ada rahasia indah dan perhitungan luar biasa. Bantul nggak sama dengan Gunungkidul. Walaupun sama-sama menyuguhkan keindahan alam. Dan tiba-tiba ingatan itu muncul, ketika pulang ke Gunungkidul di musim kemarau. Beda. Tapi itu indah.

Rumah Septi dan MieDes
Setelah bercakap-cakap ria dan melepas rasa lelah, kamipun melanjutkan rencana yang telah tersusun. 
Masak MieDes. 
Makanan ini katanya sih, makanan khas Pundong. Mie nya mirip banget sama spageti. Tapi lebih kenyal, dan bahan bakunya dari singkong. Cara masaknya sih miripan sama masak mie mie pada umumnya. Bedanya, dan uniknya. Eh, maksudnya aku baru tau. Kalo ternyata sayurannya itu nggak ikutan dimasak, tapi dibuat lalapan. Oh, cukup tau. Pantesan. Hehe
Rencananya sih, mau masak bareng. Tapi semua sudah siap sedia. Jadi tinggal ‘mematangkan’. Jadi enak sih, hehehe. Karena kondisinya udah capek dan waktu makan siang –sebenernya- udah terlewatkan.
Setelah melalui beberapa kejadian yang nggak perlu diceritakan, dan akupun baru pertama kali melakukan itu selama masak :3 akhirnya masakan pun jadi. 
Hmm, sedap nian dipandang. Rasanya pun juga nggak kalah sedap kok. Tapi itu menurut penilaian kita pribadi, yang memasak.
Ok. Tibalah saatnya kita menikmati hasil masakan kita. Nggak perlu waktu yang lama kok untuk menghabiskannya. Hhehe.
Karena sudah memasuki waktu Ashar, kitapun memutuskan sholat dulu sebelum melanjutkan perjalanan.

#1 Jembatan Gantung
Jembatan Gantung? 
Aku sih mikirnya jembatan dari kayu yang kalau dilewatin goyang-goyang gitu.
Sampai lah di tempat itu. Jembatan gantung –katanya – yang pada kenyataannya dibawah tetep ada penyangganya. Warna kuning yang mulai memudar. Memang berlapis kayu. Tapi dibawah kayu ada besi-besi, dan penyangga yang kokoh. Indah juga. Sederhana. Tapi kanan kirinya itu lho. Hijau. Alami. Bukit dan sungai. Suasana desanya ngena banget.
Walaupun pada awalnya ada yang takut :D tapi pada akhirnya kita berempat menuju tempat itu. Merasakan jembatan gantung. Merasakan berada di atas dan di tengah sungai. 
Disuguhi dengan bentangan langit yang terlihat luas. Walau tak secerah saat berangkat dari Jogja. Air sungai yang mengalir dengan warna kecoklatan. Bukit bukit kecil, dan terlihat ada beberapa titik yang longsor. Beberapa gerombolan lain yang juga ikut menikmati sore di tempat itu. Di sebelah utara juga ada beberapa anak muda yang masih ababil hehe, yang tiba-tiba menaiki motor agak ‘ugal-ugalan’ di jembatan itu. Hah. Mungkin mereka kurang perhatian, makanya caper.. :3
Di jembatan yang baru, kita juga disuguhi dengan kendaraan jaman dulu. Mirip Andong. Tapi pake sapi. Biasanya pake buat ngangkut hasil panen. Mungkin bendi namanya. Eh, entah deng. Karena kita nggak ada yang inget, apa nama kendaraan itu.

#2 Sunset di Parangtritis
16.30 WIB. Perjalanan kita lanjutkan ke Parangtritis. Melewati jalan desa. Aaak. Jadi merindukan suasana Blekonang. Aku melihat ada masjid yang unik. Kanan jalan, kalau nggak salah utara jalan tepatnya. Masjidnya di kelilingi sama kebon. Dindingnya menggunakan kaca semua. Transparan. Hehehe. Sebelumnya juga melihat adik-adik kecil pulang TPA. Berseragam. Setelah melihat tempatnya yang ternyata bukan masjid, kesimpulan awal kita adalah tempat itu milik perseorangan, tepatnya dibuat oleh perseorangan. Seperti pondokan. Desain dan tata letaknya, itu lho. Unik dan menyejukkan. Yang setelah melihatnya, tiba-tiba ada yang mengucapkan salah satu mimpinya, eeh, salah dua deng. Aamiin. Semoga terwujud. Selagi itu untuk kebaikan? :)

Tibalah kita di Parangtritis. Meta, maafkan aku. Aku nggak bilang dulu kalau kita juga mau ke pantai. Ehehe. Dari kita berempat, Meta-lah yang mengenakan kostum nggak cocok banget buat dipake ke pantai :3
Tepat pertama yang kita tuju adalah tulisan “Pantai Parangtritis”, karena tulisan ini yang baru disana.
PANTAI PARANGTRITIS

Bantul

The Harmony of Nature and Culture
Tulisan itu gagah sekali berdiri. Apalagi kalau malam hari dan terkena sorotan lampu. Pasti lebih indah.

Setelahnya, kita segera mendekat ke air. 
Matahari di ujung barat dan deburan ombak air laut mulai melambai-lambai untuk disaksikan. Walau pantai ini tak seperti pantai-pantai selatan di daerah gunungkidul yang berpasir putih, tapi pantai tetap aja pantai. Pantai yang menyuguhkan deburan ombak dengan tenang, air yang bergerak mengikuti alunannya, dan selalu saja tak membosankan untuk disaksikan.
Perjalanan yang indah.
Pilihan yang tepat.
Menyaksikan sunset di pantai. First time ^_^
Sore itu.
Aku lebih memilih menyaksikan indahnya Ciptaan-Nya, ketika Meta dan Septi asik berfoto. Rindu dengan suara deburan ombak di lautan. Rindu dengan air laut yang menari mengikuti alunan ombak. Rindu air laut yang membentang, luas, seperti tak berbatas. Apalagi sore itu, tak sama dengan perjalananku di pantai-pantai sebelumnya. Aku juga menyaksikan matahari yang ingin berpulang. Mulai berpamit pada kita yang menyaksikannya. Hmm. Subhanallah.
Tak lama kemudian, pemandangan yang kita inginkan pun datang juga.
Sunset.
Siluet senja di ufuk barat. Sang surya yang masih malu-malu, tertutup awan. Langit mulai menguning. Orange tepatnya. Matahari mulai turun. Perlahan. Aaaak. Walau sebelumnya agak pesimis juga bisa melihatnya, karena langit tak seindah sunset di Candi Ijo beberapa hari yang lalu. 
Tapi, ini indah teman. Menyaksikannya tenggelam. Pamit. Berpulang. Seperti ditelan air di lautan. Warnanya orange sempurna. Bulat. Dengan cepat menghilang. Subhanallah. Aku tak mampu melukiskannya dengan kata-kata, kalau kamu belum pernah merasakannya, cobalah. Sekali saja.
Puuaaass.
Selalu diingatkan untuk tak menyombongkan diri. Allah itu sempurna, teman. Maha Sempurna. Menciptakan alam dan seisinya yang begitu istimewa. Termasuk pemandangan senja hari itu.

7 Kura-kura
Sembari menyaksikan pasca matahari tenggelam dan sudah berniat untuk pulang. Tiba-tiba ada bapak-bapak yang menawarkan buah tangan. Gantunga kunci, Bross, Figura foto, dll. Semua dihiasi dengan barang laut. Kerang, batu, pasir. Dengan berbagai polesan tangan-tangan seniman.
Yudik tiba-tiba memilih gantungan kura-kura, untuk kita.
Ini tanpa di rencanakan sebelumnya. Cerita 7 kura-kura akhirnya menutup perjalanan kita di pantai yang sarat akan mitos itu. 7 kura-kura dengan 7 pemilik. Entah apa yang menyatukan. Entah apa yang mendekatkan. Sebuah pertemanan. Huda, Yudik, Umi, Rara, Septi, Meta, Asti.

Kami pun kembali ke rumah, eeh ada yang ke kost deng.
Maghrib di salah satu Mushola sekitar pantai, dan Isya’ di masjid depan rumah Septi. Masjid bangunan baru pasca gempa Jogja. Jam 19.59 kita berpulang, dari Pundong.
Perjalanan malam. Angin malam, suasana desa, kerlap-kerlip lampu di sepanjang jalan, menemani perjalanan kita malam itu. Sawah yang terbentang hijau di siang hari, tampak gelap. Hanya cahaya lampu jalanan dan rumah-rumah di desa seberang yang menerangi.

6 komentar:

  1. Selalu ada cerita disetial alngkah perjalanan.. Selalu ada kenangan yang tertinggal dan membekas.. Mungkin ketika aku kesana akan terbayang-bayang kenangan bersama kalian.. :)

    BalasHapus
  2. eeaaa.... ojo nggalau dewekkan neng kono lhoo... :D

    BalasHapus
  3. aku ora galau :p
    yudik, TPA ki tempat pembuangan akhir udu? apa taman pendidikan al qur'an apa yang lain?
    kamu teringat masa lalu kamu ya dik :')

    BalasHapus
  4. (y) udah tak 'aamiin' kan lhoo, kak. :) :D

    Yee, Septi sok tau :p

    BalasHapus
  5. Cieee cieee ... Kalian rahasia-rahasiaan di belakang akuhh :/

    BalasHapus