Jumat, 06 Februari 2015

Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan? Candi Ijo-Puncak Bucu





Senin, 2 Februari 2015
“Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan?”

Kalimat ini menjadi kalimat yang sangat ajaib bagiku dan mungkin juga bagi mereka. Ketika mata ini disuguhkan dengan pemandangan yang sungguh indah, dan tak mudah untuk didapatkan.

“Tak Terencana”
Begitulah kalimat yang dituliskan salah seorang teman ketika upload foto di fb sesaat setelah perjalanan ini usah. Iya, kalimat yang hanya terdiri dari 2 kata itulah menggambarkan perjalanan kita. Perjalanan jiwa dan raga.
Sore itu, sekitar pukul 16.25 salah seorang dari kami berniat untuk pulang. Ingat sekali dengan ucapannya sembari mengenakan sepatu di tangga samping sekretariat UKM Penelitian.
“Kak, besok main yuk.”
Hmm. Gini ceritanya kalo jadi orang selo, atau sok selo. Maen. :D
Ia turun ke bawah, untuk pulang. Tapi, beberapa menit kemudian tiba-tiba dia kembali naik. Kirain ada yang ketinggalan (biasanya sering gitu). Eeh, baru sampe pintu, “Kak, sekarang aja yuk. Ke Candi Ijo. Liat sunset.”
What? Ndadak banget. Mau sama siapa? Hmm. Berfikir sejenak. Doing something. Telpon temen. Mau.

Tanpa pikir panjang, kita langsung meng-iya-kan ajakannya.  Asti, Septi, Yudik, Huda. Siapa lagi? Hmm, mana ada yang mau. Apalagi ndadak gini. Yaudah, kitapun memutuskan jalan berempat.

Candi Ijo. Sunset. 
Perjalanan yang lumayan lama. Untungnya kiri kanan jalan menyuguhkan pemandangan yang indah, sang surya pun menggoda meminta untuk disaksikan. Perjalanan lamapun terasa sesaat. Setelah melalui jalan yang berliku, sempat nggak tau arah, dan melalui berbagai tanjakan tajam #eehLebay akhirnya kita sampai.
Diparkiran aja pemandangannya udah indaaah banget. Sang surya yang sudah mulai diselimuti warna orange sebagai pertanda ia akan segera tenggelam. Hamparan alam yang indah dan hijau. Pandangannya sungguh menarik perhatian.
“Mas, nanti candi tutup jam 6 ya.”
“Oh ya, pak.”
Kita kira masih jam 5an, eeh ternyata setelah liat hp udah jam 17.52
Jam 6? Itu berati hanya 8 menit? Aaah, tapi kan jam 6 nya sini sama kota beda, hehe. Begitulah celetuk salah satu dari kita agar bisa menikmati indahnya Ciptaan-Nya lebih lama.

Allahuakbar ! Subhanallah !
Andai kau saksikan sore itu, kawan. Tak henti rasa syukurmu kau panjatkan Kepada-Nya. Sungguh pemandangan langka. Naik gunung yang tingginya berkali-kali lipat dari tempat ini pun, belum tentu akan menemukan pemandangan yang seindah ini.

Diujung barat sang surya begitu manja, dan menarik perhatian kita untuk disaksikan. Dikelilingi dengan siluet senja. Langit yang mulai berwarna orange. Sedangkan di sudut yang lain, langit dengan warna biru dan putih masih terlihat begitu cerah. Semua pengunjung terpana olehnya, sang surya yang akan berpulang. Berkumpul di sudut paling selatan dan menghadap ke barat. Untuk sekedar menikmati indahnya sang surya, atau untuk mengabadikan moment itu.

Kamipun tak hanya disuguhi indahnya sang surya yang berpamit untuk pulang, dan digantikan bulan dan bintang yang siap menemani. Di ujung utara, Merapi-pun gagah menyapa, dan di ujung selatan, bentangan alam yang hijau dan luas. Candi-candi yang masih kokoh berdiri. Allahuakbar! Luar biasa! Tak ada yang menandingi indahnya Ciptaan-Nya.

Aku terpana dibuatnya. Membuatkan sejenak diam, dan tak memerdulikan orang di sekitar. Kitapun tak ingin melewatkan moment ini. Sama dengan yang lain, berfoto adalah cara kami mengabadikannya.

Belum puas rasanya. Memandang langit yang indah. Cahaya lampu mulai menerangi. Sudah terlihat gemerlap dan bercahaya. Bandara Adi Sucipto yang sangat jelas, landasan pacu yang dikelilingi dengan lampu-lampu yang begitu menyala. Kami sudah diminta turun oleh pak Satpam. Apaboleh buat. Merekapun telah memberi toleransi untuk kami.
Biarkan tempat ini menjadi cagar budaya. Yang menyimpan banyak sejarah, walau aku belum tau sejarah adanya candi itu. Kamipun keluar.
Satu lagi ide. Salah seorang dari kami menyeletuh, “Puncak Bucu”. Awalnya agak ragu. Jauhkan? Susahkah? Terlebih waktu sudah memasuki waktu maghrib. Setelah mendapat penjelasan yang katanya deket, dan medannya nggak susah. Setelah berunding sejenak, kita memutuskan untuk lanjut.

Tak lupa, kita menunaikan sholat maghrib terlebih dahulu. Di masjid terdekat, setelah keluar dari jalan kampung. Hai, masjid yang unik. Gapuranya itu lho. Unik. Setelah menunaikan ibadah sholat maghrib, ternyata sudah jam 19.00, kembali harus membuat keputusan. Lanjut atau tidak. Berfikir sejenak. Lanjut. Mantap. Karena kita (Aku sama Septi) cewek, hal yang wajib adalah ijin orang tua juga. Melalui jalan kota yang lumayan rame. Ditemani oleh sinaran lampu di sudut-sudut jalan, dan dinginnya angin malam, kita melanjutkan perjalanan.

Karena tak terencana, kamipun tanpa persiapan apa-apa. Jangankan makanan, minumpun tak membawa. Niatnya sih mau beli minum di indomart dekat lokasi, tapi motor depan nggak berhenti akhirnya nggak jadi. Dan, finally kita nggak bawa apapun untuk naik.
Sampai di tempat, sepi. Tapi bagiku hal biasa, di rumah bahkan sepinya bisa melebihi ini. Kami tiba di rumah paling ujung. Karena tak ada tempat parkir, kami memarkirkan motor sekaligus ijin nitip motor sama yang punya rumah.

Puncak Bucu, Perjalanan Jiwa dan Raga
Kami bertekad untuk naik. Dengan berbekal 2 senter, senter hp pula. Naik.
Gelap, gaes. Tapi untungnya tinggal mengikuti jalan, tak perlu mencari jalan.

Ini perlajanan malamku yang pertama,
Perjalanan yang tak biasa,
Perjalanan luar biasa,
Dengan teman seperjuangan,
Aku belum tau, keindahan apa yang akan ku dapat sampai puncak,
Tapi aku percaya mereka,
Ada surga tersembunyi diatas sana.

Selangkah demi selangkah, kami semakin jauh dari rumah terujung tempat kami memarkirkan motor. Gelap dan hawa dingin malam hari semakin terasa. Beberapa meter telah kami lalui, menanjak. Septi di depan, dia tiba-tiba berhenti dan terkejut. Rupanya, kita disambut oleh ular hijau, kecil. Tapi jujur, aku kira dia itu cuma takut, jadi agak cuek, dan aku nggak terlalu melihat wujud ularnya. Hmm.

Tinggalkan tentang ular. Karena ia ingin tenang dengan dunianya. Kami melanjutkan perjalanan. Beberapa meter kemudian, kami disuguhkan dengan pemandangan yang indah. “Tengok belakang”. Subhanallah. Gemerlap sinar lampu bak bintang di langit. Bukit bintang dari sudut yang lain. Pathuk. Iya. Itu pathuk. Tempat dimana kita menyaksikan ribuan lampu kota yang gemerlap, dan kini, aku menyaksikannya, dari sudut yang lain. Tapi perjalanan baru setengah, kamipun melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 15 menit, kami tiba di puncak Bucu.

Aaaaaaak. Pengen teriak.
Sunyi. Gelap. Suara Jangkrik dan langkah serta canda tawa kami yang terdengar. Tak ada seorangpun selain kami berempat. Allahukabar ! Lagi, Rabb. Kau suguhkan pemandangan yang indah untuk kami.
Bulan yang malu-malu untuk menampakkan diri, beberapa bintang yang menghiasi langit, daaan, di bagian barat ribuuuuaaann lampu kota menyala. Indah. Gemerlap. Bak lautan bintang.

“Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan.”  
Kalimat itu lagi-lagi mengusik hatiku. Berkali-kali ku ucap dalam hati. Betapa kecilnya diri ini, Rabb. Betapa tak pantasnya diri ini bertingkah angkuh di atas bumi-Mu.
Kejadian yang langka ku temui saat jalan-jalan. 
Merenung. 
Subhanallah. Kami menemui itu, kali ini. Diam sejenak, menikmati lautan bintang dari gemerlapnya lampu kota.  Tak bersuara. Membiarkan alam pikiran kita bebas. Sejenak. Merenungi tentang diri ini, masing-masing dari kita. Tak tau, apa yang muncul dalam pikiran kita, masing-masing. Luar biasa ! Ini moment yang sangat indah yang ku rasakan bersama teman. Moment yang mengesankan. Itulah mengapa aku menyebutnya dengan perjalanan jiwa dan raga. Merenung. Sungguh. Jiwa ini digugah untuk bertanya. Apa yang telah kau lakukan selama ini? Untuk apa sejatinya kau hidup? Dan masih banyak hal-hal lain.

Finally, 20.10 kita memutuskan untuk turun. Aah, ingin rasanya berlama-lama di sini. Dalam perjalanan turun, sesekali aku menengok ke belakang. Betapa, perjalanan ini mampu mengubah hidupku, menjadi yang lebih baik.

Terima kasih untuk hari yang indah.
Terima kasih untuk perjalanan yang tak terencana.
Terima kasih untuk perjalanan jiwa dan raga kami.
Terima kasih untuk hari ini.
Semoga memberikan warna dalam hidup kita, masing-masing.
Semoga memberikan kita berjuta hikmah dan nasihat
Daaann, semoga perjalanan ini kan terulang suatu saat nanti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar