Sabtu, 7 Februari 2015
Siluet senja mulai menyapa di pantai selatan.
Langit di ujung barat mulai berwarna orange. Sang surya pun perlahan mulai berpulang. Ditemani deburan ombak yang tenang. Matahari turun. Pelan. Warnanya
mulai sempurna. Orange. Subhanallah. Sunset-pun menyapa Parangtritis.
“Walaupun berempat juga pasti akan
menyenangkan.”
Begitulah pesan salah seorang teman ketika
mulai pesimis untuk mengunjungi tempat itu. Hmm, bagaimana tidak? Niatnya mau
maen berbanyak, eeh ternyata banyak yang nggak bisa. Bukan deng. Timing-nya aja
yang nggak tepat :3 yang pada akhirnya berempat beneran. Septi, Yudik, Meta,
Asti. Walaupun semula berempat itu sama mas Huda.
Tapi, dia-pun punya alasan sendiri buat nggak ikut.
Mungkin iya, maen yang ‘terlalu’
direncanakan itu malah terlalu banyak pula pertimbangannnya. Paitnya, berujung
pada...batal.
Perjalanan yang sudah direncanakan dengan
rapi. Pagi, bantuin temen-temen pengurus UKM Penelitian bersih-bersih bentar,
siang berangkat, ke rumah Septi. Sore cuss ke Parangtritis, lihat sunset.
Hmm, memang rencana itu kadang tak sesuai
dengan kenyataan.
Setelah bercakap dengan orang yang diajak, melalui
sms. Ada yang tiba-tiba memeng adapula yang beda presepsi dengan siang. Ahaha. Ada-ada
aja. Yang pada akhirnya mas Huda pun fix untuk nggak ikut. Bingung. Terus Meta
gimana? :D
Untungnya Dzuhur-pun segera menyapa. Pilihan
yang tepat. Sholat! Daripada bingung harus kek gimana mending berduaan dulu
sama Allah :3
Lalu, masihkan kau ragu dengan
pertolongan-Nya?
Alhamdulillah. Keputusan dengan pikiran
yang jernih. Setelah Sholat. Terima kasih dek Enny atas pinjaman motornya. Maaf
molor dari perjanjian pengembalian :3
13.15 WIB
Perjalanan pun dimulai. Menuju Pundong.
Berkunjung ke rumah teman dan sahabat kami, Septi Kiswandari. Setelah satu jam
perjalanan, akhirnya tibalah pada tempat tujuan. Walaupun ada insiden nggak tau
jalan –sebenernya sih, aku udah pernah ke sana, tapi nggak bisa ngapal jalan –
hehehe
Ah. Lagi-lagi. Ciptaan-Nya itu Indah.
Perjalanan menuju Pundong disuguhi dengan
bentangan alam yang serba hijau. Kanan kiri jalan memberikan suguhan yang
sangat sayang untuk dilewatkan. Pun ditemani dengan bukit-bukit kecil yang hijau
dan sepertinya belum terjamah oleh tangan dan kaki manusia :3
Satu hal yang tiba-tiba muncul dalam
perjalanan.
Beginilah kuasa-Nya. Selalu ada rahasia
indah dan perhitungan luar biasa. Bantul nggak sama dengan Gunungkidul.
Walaupun sama-sama menyuguhkan keindahan alam. Dan tiba-tiba ingatan itu
muncul, ketika pulang ke Gunungkidul di musim kemarau. Beda. Tapi itu indah.
Rumah Septi dan MieDes
Setelah bercakap-cakap ria dan melepas rasa
lelah, kamipun melanjutkan rencana yang telah tersusun.
Masak MieDes.
Makanan
ini katanya sih, makanan khas Pundong. Mie nya mirip banget sama spageti. Tapi
lebih kenyal, dan bahan bakunya dari singkong. Cara masaknya sih miripan sama
masak mie mie pada umumnya. Bedanya, dan uniknya. Eh, maksudnya aku baru tau.
Kalo ternyata sayurannya itu nggak ikutan dimasak, tapi dibuat lalapan. Oh,
cukup tau. Pantesan. Hehe
Rencananya sih, mau masak bareng. Tapi
semua sudah siap sedia. Jadi tinggal ‘mematangkan’. Jadi enak sih, hehehe.
Karena kondisinya udah capek dan waktu makan siang –sebenernya- udah
terlewatkan.
Setelah melalui beberapa kejadian yang
nggak perlu diceritakan, dan akupun baru pertama kali melakukan itu selama
masak :3 akhirnya masakan pun jadi.
Hmm, sedap nian dipandang. Rasanya pun juga
nggak kalah sedap kok. Tapi itu menurut penilaian kita pribadi, yang memasak.
Ok. Tibalah saatnya kita menikmati hasil
masakan kita. Nggak perlu waktu yang lama kok untuk menghabiskannya. Hhehe.
Karena sudah memasuki waktu Ashar, kitapun
memutuskan sholat dulu sebelum melanjutkan perjalanan.
#1 Jembatan Gantung
Jembatan Gantung?
Aku sih mikirnya jembatan
dari kayu yang kalau dilewatin goyang-goyang gitu.
Sampai lah di tempat itu. Jembatan gantung –katanya
– yang pada kenyataannya dibawah tetep ada penyangganya. Warna kuning yang
mulai memudar. Memang berlapis kayu. Tapi dibawah kayu ada besi-besi, dan
penyangga yang kokoh. Indah juga. Sederhana. Tapi kanan kirinya itu lho. Hijau.
Alami. Bukit dan sungai. Suasana desanya ngena banget.
Walaupun pada awalnya ada yang takut :D
tapi pada akhirnya kita berempat menuju tempat itu. Merasakan jembatan gantung.
Merasakan berada di atas dan di tengah sungai.
Disuguhi dengan bentangan langit
yang terlihat luas. Walau tak secerah saat berangkat dari Jogja. Air sungai
yang mengalir dengan warna kecoklatan. Bukit bukit kecil, dan terlihat ada beberapa
titik yang longsor. Beberapa gerombolan lain yang juga ikut menikmati sore di
tempat itu. Di sebelah utara juga ada beberapa anak muda yang masih ababil
hehe, yang tiba-tiba menaiki motor agak ‘ugal-ugalan’ di jembatan itu. Hah.
Mungkin mereka kurang perhatian, makanya caper.. :3
Di jembatan yang baru, kita juga disuguhi
dengan kendaraan jaman dulu. Mirip Andong. Tapi pake sapi. Biasanya pake buat
ngangkut hasil panen. Mungkin bendi namanya. Eh, entah deng. Karena kita nggak
ada yang inget, apa nama kendaraan itu.
#2 Sunset di Parangtritis
16.30 WIB. Perjalanan kita lanjutkan ke
Parangtritis. Melewati jalan desa. Aaak. Jadi merindukan suasana Blekonang. Aku
melihat ada masjid yang unik. Kanan jalan, kalau nggak salah utara jalan
tepatnya. Masjidnya di kelilingi sama kebon. Dindingnya menggunakan kaca semua.
Transparan. Hehehe. Sebelumnya juga melihat adik-adik kecil pulang TPA.
Berseragam. Setelah melihat tempatnya yang ternyata bukan masjid, kesimpulan
awal kita adalah tempat itu milik perseorangan, tepatnya dibuat oleh
perseorangan. Seperti pondokan. Desain dan tata letaknya, itu lho. Unik dan
menyejukkan. Yang setelah melihatnya, tiba-tiba ada yang mengucapkan salah satu
mimpinya, eeh, salah dua deng. Aamiin. Semoga terwujud. Selagi itu untuk
kebaikan? :)
Tibalah kita di Parangtritis. Meta, maafkan
aku. Aku nggak bilang dulu kalau kita juga mau ke pantai. Ehehe. Dari kita
berempat, Meta-lah yang mengenakan kostum nggak cocok banget buat dipake ke
pantai :3
Tepat pertama yang kita tuju adalah tulisan
“Pantai Parangtritis”, karena tulisan ini yang baru disana.
Bantul
The Harmony of Nature and Culture
Tulisan itu gagah sekali berdiri. Apalagi
kalau malam hari dan terkena sorotan lampu. Pasti lebih indah.
Setelahnya, kita segera mendekat ke air.
Matahari di ujung barat dan deburan ombak air laut mulai melambai-lambai untuk
disaksikan. Walau pantai ini tak seperti pantai-pantai selatan di daerah
gunungkidul yang berpasir putih, tapi pantai tetap aja pantai. Pantai yang
menyuguhkan deburan ombak dengan tenang, air yang bergerak mengikuti alunannya,
dan selalu saja tak membosankan untuk disaksikan.
Perjalanan yang indah.
Pilihan yang tepat.
Menyaksikan sunset di pantai. First time
^_^
Sore itu.
Aku lebih memilih menyaksikan indahnya
Ciptaan-Nya, ketika Meta dan Septi asik berfoto. Rindu dengan suara deburan
ombak di lautan. Rindu dengan air laut yang menari mengikuti alunan ombak.
Rindu air laut yang membentang, luas, seperti tak berbatas. Apalagi sore itu,
tak sama dengan perjalananku di pantai-pantai sebelumnya. Aku juga menyaksikan matahari
yang ingin berpulang. Mulai berpamit pada kita yang menyaksikannya. Hmm.
Subhanallah.
Tak lama kemudian, pemandangan yang kita
inginkan pun datang juga.
Sunset.
Siluet senja di ufuk barat. Sang surya yang
masih malu-malu, tertutup awan. Langit mulai menguning. Orange tepatnya. Matahari
mulai turun. Perlahan. Aaaak. Walau sebelumnya agak pesimis juga bisa
melihatnya, karena langit tak seindah sunset di Candi Ijo beberapa hari yang
lalu.
Tapi, ini indah teman. Menyaksikannya tenggelam. Pamit. Berpulang. Seperti
ditelan air di lautan. Warnanya orange sempurna. Bulat. Dengan cepat menghilang. Subhanallah.
Aku tak mampu melukiskannya dengan kata-kata, kalau kamu belum pernah merasakannya,
cobalah. Sekali saja.
Puuaaass.
Selalu diingatkan untuk tak menyombongkan
diri. Allah itu sempurna, teman. Maha Sempurna. Menciptakan alam dan seisinya
yang begitu istimewa. Termasuk pemandangan senja hari itu.
7 Kura-kura
Sembari menyaksikan pasca matahari
tenggelam dan sudah berniat untuk pulang. Tiba-tiba ada bapak-bapak yang
menawarkan buah tangan. Gantunga kunci, Bross, Figura foto, dll. Semua dihiasi
dengan barang laut. Kerang, batu, pasir. Dengan berbagai polesan tangan-tangan
seniman.
Yudik tiba-tiba memilih gantungan kura-kura,
untuk kita.
Ini tanpa di rencanakan sebelumnya. Cerita
7 kura-kura akhirnya menutup perjalanan kita di pantai yang sarat akan mitos
itu. 7 kura-kura dengan 7 pemilik. Entah apa yang menyatukan. Entah apa yang mendekatkan.
Sebuah pertemanan. Huda, Yudik, Umi, Rara, Septi, Meta, Asti.
Kami pun kembali ke rumah, eeh ada yang ke
kost deng.
Maghrib di salah satu Mushola sekitar
pantai, dan Isya’ di masjid depan rumah Septi. Masjid bangunan baru pasca gempa
Jogja. Jam 19.59 kita berpulang, dari Pundong.
Perjalanan malam. Angin malam, suasana
desa, kerlap-kerlip lampu di sepanjang jalan, menemani perjalanan kita malam
itu. Sawah yang terbentang hijau di siang hari, tampak gelap. Hanya cahaya
lampu jalanan dan rumah-rumah di desa seberang yang menerangi.