Jumat, 27 Februari 2015

Puncak Salah Satu Bukit di Kota Jogjakarta



20 Februari 2015

 Entah, aku lupa nama tempat itu. Tempat yang ku tahui hampir setahun yang lalu dan baru ku nikmati hari ini. Tempat indah untuk menyaksikan sang surya kembali ke peraduannya, sunset di senja hari. Ditemani dengan hamparan sawah yang hijau sejauh mata memandang, dan ketika cuaca cerah dengan gagahnya gunung merapi, merbabu dan sumbing pasti akan menyapa kita yang menyaksikannya.

Ini bermula saat aku bersama dengan beberapa ‘mantan’ PIPH UKM Penelitian 2014 mau survey tempat pelantikan pengurus baru. Jum’at, ba’da jum’atan. Itu kesepakatan awal kami untuk survey. Yang pada akhirnya, jam 14.00 lebih kami baru berangkat. Pun awalnya hampir kita cancel karena cuma ada 3 orang. Hmm. Tapi pada akhirnya berlima tambah 1 nyusul, berenam.

Tempat yang telah ku tahui sebelumnya. Hampir setahun yang lalu. Yang beberapa minggu lalu ku sampaikan pada salah seorang temanku. Aaaak, dan ternyata hari ini. Aku berkesempatan untuk mengunjunginya lagi. Tentunya dengan tujuan dan kondisi yang berbeda.

Satu tujuan ku yang harus tercapai ketika sampai di tempat itu.
Ke Bukit.
Walau aku tak terlalu mengingat jalan menuju ke sana. Tapi aku yakin, akan sampai di sana. Setelah sholat ashar, kami menyusuri perjalanan kampung yang hijau dan asri sembari survey dan menikmati pemandangan sore hari.

Belum jauh kami berjalan, kami disambut dengan pemandangan sederhana, jembatan kecil di tengah sawah. Senderhana, tapi menambah indah pemandangan sore itu. Pun ketika kami telah menemukan jalan desa, pucuk gunung merapi muncul dengan malu-malu. Ah, kau. Selalu menggoda untuk diabadikan. Berfotolah kami di situ. 

Berjalan terus, menyusuri jalan desa. Berpapasan dengan ibu-ibu bersama anak kecilnya, muda-mudi yang berkumpul, sekedar untuk menikmati sore hari, dan beberapa orang yang sedang di sawah. Ah, indah! Lumayan, liburan dan perjalanan gratis. 

Setelah sekian menit berjalan. Tibalah kami di tempat itu. Puncak salah satu bukit di kota Jogjakarta. Subhanallah. Ini Indah! :) dan ternyata, dari kami berempat baru aku yang pernah ke sana. Hah. Kalian :D

Pandangan yang tak pernah membosankan mata. Memang, Ciptaan-Nya selalu sempurna. Tak terkecuali dengan bentangan alam yang kami saksikan sore itu. Ah. Andai cuaca cerah, pasti kami akan menanti hingga sang surya berpamit pada kami dengan warna kuning keemasan, dan bulan sempurna. Semoga, suatu hari nanti. Aamiin :)

Setelah lumayan lama kami di sana, kami memutuskan untuk turun dan kembali pada rencana awal. Fiksasi kegiatan PDP. Perjalanan turun yang tak melalui jalan ketika naik. Sensasinya itu lho, luar biasa! 

Pengen tau dan pengen merasakan? Tunggu 7-8 Maret 2015 ya ! Just for you, yang membaca dan tentunya anak UKM Penelitian :D
 


Teman (?) “Tentang Perjalanan dan Kebersamaan”

19 Februari 2015

Kamis, 19 Februari 2015. Hari ini, bertepatan dengan tanggal merah, Tahun Baru Imlek yang entah ke berapa. Ketika kamu punya planning dengan liburan panjang ini (Kamis – Minggu), begitupun denganku. Tentunya, aku tak sendiri, tetapi bersama mereka. Teman-temanku. Teman baru tepatnya. Karena aku baru mengenalnya.

Seperti yang telah ku ceritakan sebelumnya, rencana mengajak temen-temen panti refreshing. Iya, hari ini kami menindaklanjuti rencana kami, yang menurutku (mungkin menurut kalian juga) terhitung ‘dadakan’. Cukup 1 minggu –tidak efektif– mempersiapkan kegiatan menuju hari H. Tidak hanya dengan 5 orang yang sebelumnya telah ke sana (Panti Asuhan Asy-Syafi’iyah), ini lebih dari itu. Ber-12 orang (Asti, Septi, Yudik, Eka, Eni, Paksi, Lukman, Dewa, Dika, Miftah, Fafa, Rais). Banyak kaaan?? :D

Guyub Community
Perjalanan pertama kami, sebelum menuju Panti Asuhan adalah ke rumah Dika, untuk fiksasi kegiatan yang akan kami lakukan. Rumahnya di daerah Pakem Selatan (kata ibu-nya), tepat dipinggir jalan. Jadi lumayan mudah mencarinya. #Eeeh, tepatnya udah ada yang tau deng, jadi nggak kesasar.

Mereka.
Ah, iri rasanya melihat kebersamaan mereka.
Pertemanan yang lebih dari sekedar teman. Pertemanan yang saling memaknai arti kebersamaan. Iya, mereka sekelas, yang dengan kesibukannya masing-masing masih saling menyempatkan untuk kebersamaan mereka. Aaaaak. Dan itu keren !

“Guyub”. Kata itu yang sering mereka ucap. Sepele mungkin, tapi bagiku, itu berpengaruh. Dalam segala hal. Pun dengan kebersamaan mereka. Iya. Dan akupun kini mengenal mereka, yang menamakan dirinya dengan sebutan “Guyub Community”. Entah sejak kapan dan dari mana kata itu muncul. Tapi kebersamaan mereka, mencerminkannya.
Andai ku mampu dan bisa, akan ku bagi cerita tentangmu untuk mereka, teman kelasku. Agar kamipun (lebih tepatnya –aku–)  tau arti teman dan kebersamaan yang sesungguhnya.

Sesampainya di rumah Dika obrolan demi obrolan kami lalui dengan santai dan kadang penuh dengan candaan juga. Dan semakin santai ketika disuguhi dengan buah rabutan hasil petikan langsung di depan rumah. Banyak hal yang kami obrolkan, terkait dengan kegiatan hari Minggu, dan diluar dari itupun bahkan lebih banyak :D

Ketika siang menjelang, mendung mulai menyapa. Gelap dan semakin gelap, yang sedikit membuat kami ingin mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan ke Panti. Aah, tapi kami sudah mempersiapkannya. Karena kami tau, resiko keluar rumah hari ini –hujan–.Keputusan kami bulat. Ke Panti. Karena ada hal yang kami butuhkan, dan harus ke sana.

Abadikan moment-mu!
Depan rumah Dika dengan rumput hijau dan beberapa pohon yang menarik pandangan mata, akhirnya kami gunakan untuk foto bersama. yaa, itung-itung biar dikira habis maen di taman mana gitu :D Entah karena tempatnya bagus, atau kameranya bagus, atau efek yang moto, tapi emang nggak keliatan kalo lagi foto di depan rumah siih :3

Mereka, yang hebat.
Perjalanan kedua kami, di Panti Asuhan Asy-Syafi’iyah.
6 motor, 12 orang. Sepi memang, tak seramai kunjungan kami sebelumnya yang hanya berlima. Ketika tiba di sana, tak satupun dari mereka (adik-adik panti) yang di teras rumah. Mungkin juga karena faktor hujan deras. Walau pada akhirnya, kami tau bahwa tak sedikit dari mereka pulang ke rumah mereka. Karena hari minggu yang biasanya mereka gunakan untuk pulang, mengharuskan mereka untuk tetap tinggal, ya demi kami. Untuk maen bareng :3 Setelah urusan kami usai dengan pengelola panti, akhirnya kami berkesempatan untuk menyapa mereka.
Rabb, betapa mereka orang-orang hebat dan luar biasa.
Mereka yang tinggal di sana, pagi menuntut ilmu di sekolah, setelah pulang mereka pun tak jemu, tetap dan harus menuntut ilmu agama di panti yang sekaligus sebagai pondok pesantren itu. Ah. Mereka adalah generasi hebat, dengan potensi mereka masing-masing.
Disaat kami menyapa, betapa sambutan hangat itu mereka persembahkan untuk kami. Walau ada yang masih sedikit malu-malu, tapi ada juga yang aktif, bahkan langsung akrab malah. Kalian :’) aku pasti akan merindukan kalian, dek. ^^

Gemercik air yang membasahi bumi Jogja bagian utara perlahan menghilang, yang tersisa hanya rintikan-rintikan lembut yang (akan) mengantarkan perjalanan pulang kami. Setelah sesaat menyapa mereka, kamipun berpamit untuk melanjutkan perjalanan pulang.

Sekaligus mencari jalan untuk bis yang akan menjemput mereka di hari minggu besok, kamipun melalui jalan yang berbeda  dengan saat berangkat. Oooh, ya.. saat berangkat, kami dikejutkan dengan demo warga di pertigaan menuju panti tersebut, yang ternyata mereka demo dengan adanya penambangan pasir liar, dengan menutup jalan untuk akses roda empat, terutama truk. Itulah kenapa, kami mencari  jalan alternatif lain.

Teman (?)
Perjalanan ketiga kami, dihari yang sama. Jejamuran.
First time (again). Tempat yang asing. Hah, bukan! Menu makanan yang asing :D enggak juga deng, itu cuma bagiku kok, hehe.
Sebelum kembali ke rumah, dan setelah muter-muter Turi ditemani dengan guyuran air hujan yang ternyata semakin deras, kamipun mampir –tepatnya diajak mampir– di Jejamuran. Pelayanan yang luar biasa. Walaupun harus merasakan dingin ++ setelah kehujanan dan harus masuk di ruangan ber-AC, dan AC pun tepat di hadapan kita. 
Tapi tak apa. Hanya sesaat kami menunggu. Hidangan pun sudah tersajikan di meja. Makannya dalam hitungan menit, bahkan mungkin detik. Tapi ngobrolnya..... :D akhirnya kamipun menghabiskan waktu untuk bercengkrama dengan obrolan-obrolan ringan yang lumayan lama di tempat itu. Sebelum kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan untuk kembali ke rumah Dika.

Lagi,  disini aku bertanya pada diriku sendiri. ‘Apa sejatinya teman? Apakah ini yang dinamakan pertemanan?’ yang pada akhirnya, akupun harus mencari jawaban dan menyimpulkan sendiri. Aah, kalian :’) Ada ikatan yang menyatukan kalian, entah apa. Tapi aku tau, itu bukan sekedar teman biasa. Yang hanya sekedar mengenal dan saling sapa. Lebih dari itu. Terima kasih atas pelajaran, pengalaman, hikmah dan perjalanan hari ini. Aku tau, akan ada hari depan yang lebih indah. Tapi perjalanan ini tak kalah hebatnya.
Aku tau, hakikat pertemanan yang sejati ^^

Kamis, 26 Februari 2015

Selalu ada hal yang berbeda

16 Februari 2015
“Karena selalu ada hal yang berbeda dalam setiap kelompok. Itu yang sering dinamakan karakteristik.”

Akhirnya, akupun mengenal mereka.
Orang-orang baru, lebih tepatnya teman baru.
Rencana mengajak rekreasi teman-teman Panti, menyatukan kita dengan sebutan “panitia”.

Ba’da maghrib. Sesuai rencana awal, kita (yang katanya panitia) kumpul untuk bahas rencana kegiatan kita di hari minggu. Benar juga. Ba’da maghrib sekitar 5 orang menuju ke SC. Cowok semua. Hmm, mulanya siih aku mengurungkan niat untuk ikut :D tapi pada akhirnya, karena katanya ada temennya cewek, akhirnya aku ikut.

Garden Cafe UNY. Tempat ini yang kami gunakan untuk berkumpul. Dengan mereka, teman-teman baru :D Yang baru aku kenal, dan akan semakin ku kenal seiring berjalannya waktu. Teman-teman PTE 2012 tepatnya teman dari salah satu teman yang sebelumnya sudah aku kenal.

Apa yang kau sesali ketika kau menemukan orang-orang baru yang hebat dan luar biasa? Tidak ada. Itupun sama dengan yang kurasa ketika aku dipertemukan denganmu, dengan kalian. Tak pernah menyesal.

Berbagai obrolan dan pembahasan kita lakukan. Hmm, yang mengajariku banyaak hal. Bahwa kita tak bisa menyamakan sesuatu. Sikap kita pun juga tak bisa disamakan, tergantung kondisi dan sikon dimana kita berada. Sikap lah yang harus kita sesuaikan. Bukan tak berprinsip, tapi memang ada masa-nya kita harus mampu menyesuaikannya.

Iya, selalu ada hal yang berbeda dalam setiap kelompok. Pun dengan mereka  #eeh kalian. Tinggal bagaimana kita menyesuaikan diri dengan lingkungan kita. Bukan menuntut mereka yang menyesuaikan dengan kita, iya kalau kita mampu mempengaruhi. Kalau tidak? Bisa-bisa kita lenyap dalam peradaban alias nggak punya temen :3

Terima kasih telah menjadi teman baruku... :)

Teman-teman Panti Asuhan yang luar biasa

15 Februari 2015
“Aku tak mengenalmu, pun dengan kehidupanmu. Tapi aku tau, kamu hebat dan luar biasa. Dan akupun, harus banyak belajar darimu.”

Teman-teman Panti Asuhan yang luar biasa.
15022015

#1
Perjalanan ini bermula dari keinginan salah seorang teman. Iya. 4 hari sebelumnya, tepatnya 11 Februari. Ada hasrat kecil yang ia utarakan, ketika kerinduan dengan mereka –teman-teman panti– itu muncul. Mengajak mereka refreshing.
Dari sinilah cerita kita bermula.
Mulanya, kita bertujuh.
Iya. Bertujuh, seperti perjalanan sebelumnya, walaupun tak pernah lengkap :3
Tapi, setelah rencana berubah dan dibuat bertahap. Akhirnya jadi ber-takterhitung :D
Minggu ini, berkunjung ke Panti sekalian survey dan minggu depan ngajak mereka maen, refreshing.

Hari ini. Setelah membuat rencana panti yang mau dikunjungi (sekaligus survey), dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kita memutuskan untuk mengunjungi Panti Asuhan di daerah Turi, Sleman. Tepatnya panti Asuhan Asy-Syafi’iyah, Kemirikebo, Girikerto, Turi, Sleman.
Perjalanan kita ke sana dengan 3 motor dan 5 orang. Terdiri dari 3 Fakultas yang berbeda, 3 jurusan yang berbeda juga. Hanya, kita sama-sama satu angkatan, 2012. Aku (Asti), Septi, Miftah, Yudik dan Paksi.

Sekitar pukul 11.00 kita menuju ke sana. Berbekal alamat, Kemirikebo, Turi. Karena kita belum pernah ke sana, dan belum tau daerah sana pula. Setelah 3 kali bertanya dengan beberapa insiden saat bertanya, akhirnya kita menemukan lokasi yang kita tuju. Panti Asuhan Asy-Syafi’iyah. 1 jam perjalanan. Lebih.

Tempatnya lumayan masuk dari daerah kota –agak pelosok– jalan menuju ke sana juga berliku, tepatnya banyak tanjakan, walau nggak terlalu tajam :3
Tapi... di sana masih asri, hijau. Perjalanan kita kesana pun disuguhi dengan perkebunan salak di kanan dan kiri jalan.  Panti Asuhan ini, letaknya nggak tepat dipinggir jalan. Agak masuk, setelah 4-5 rumah warga. Menghadap selatan, dengan halaman yang cukup luas. Warna gedungnya didominasi dengan warna hijau muda. Sebelah timur ada tempat wudhu yang dilengkapi dengan kamar mandi. Bangunannya masih baru. Bahkan (menurutku) ada beberapa bagian yang belum selesai dibangun.

Ketika kami tiba di sana. Ada beberapa anak yang bermain di teras rumah. Iya, teras rumah yang lumayan luas, dan akhir-akhir ini aku ketahui kalau ternyata itu juga digunakan sebagai tempat sholat berjama’ah. Setelah kita masuk di dalam, yang (mungkin) sering digunakan untuk menerima tamu, kami disambut oleh Pak Imam. Beliau adalah pengasuh adik-adik di Panti tersebut, lebih tepatnya beliau yang mengelola, pemilik pantinya.

Sambutan yang hangat. Tak lama kami di sana. Setengah jam. Mungkin kurang. Yang pada akhirnya kita menemukan informasi kalo ternyata panti asuhan itu lumayan baru, bahkan mungkin ada yang belum tau kalau ada panti asuhan ini. Nggak cuma sekedar Panti asuhan, tetapi tempat ini juga sekaligus dijadikan sebagai pondok pesantren. Sekarang ada sekitar 43 anak didik usia SD-SMA, dan nggak semua dari mereka tidur di panti, ada yang tetap tidur di rumah mereka.

Setelah berbincang-bincang dengan pengelola panti, akhirnya kita mendapat kesepakatan untuk bisa ngajak temen-temen panti jalan-jalan ke luar. Kota Jogja. Belum fix tempat yang akan kita tuju. Setidaknya sudah mendapat izin dari pengelola pantinya.

Selepas dari sana. Kita melanjutkan perjalanan. Sholat dan makan siang. Lucunya, kita itu sebenernya nggak terlalu ngeh dengan kegiatan yang akan kita lakukan minggu depan. Yang mau ngadain siapa aja, kegiatannya mau dibuat gimana, daaan masih banyak lagi. Hanya do’a dan harapan semoga kegiatan minggu depan berjalan dengan lancar.

#2
Ba’da Ashar, kita, 4 dari yang semula 5 orang melanjutkan perjalanan ke Panti Asuhan Sayap Ibu. Panti Asuhan ini letaknya di Jalan Solo dan menangani teman-teman ABK. Menuju ke sana melalui selokan mataram yang pada akhirnya tetep harus muter ringroad :D 
Lagi-lagi First time ke tempat ini (Aku-nya). Aaaak. Terharu dan luar biasa.
Sesampainya disana, aku diam. Menelisik. Ruang kelas. Iya, ternyata bangunan depan itu digunakan untuk ruang kelas bagi mereka. Dengan halaman yang tidak terlalu luas dihiasi beberapa pohon, salah satunya pohon rambutan.

Kami pun melanjutkan langkah, bertemu salah seorang pengasuh (maaf, lupa namanya). Menyampaikan maksud kedatangan kami untuk silaturahim, karena memang sebelumnya ada yang sudah pernah ke sini.

Mereka. Iya. Mereka, teman-teman Panti Asuhan yang luar biasa. Beberapa bergerombol, ada pula yang menyediri. Asik menikmati bubur yang terbungkus daun pisang dan koran. Ketika kami datang dan menghampiri, tak sedikit dari mereka yang merajuk, walaupun masih ada juga yang tetap asik dengan makanannya. Aaaak. Begitulah mereka.
Banyaaak sekali yang mereka obrolkan dengan kami. Dari yang seneng cerita, seneng nulis, suka nyanyi dan masih banyak lagi. Mereka orang-orang hebat dan berbakat.

Aku menghampiri salah satu dari mereka. Dan ia pun menyodorkanku sebuah buku tulis. Memintaku untuk menuliskan nama. Dan setelah kulihat. Buku itu berisi namanya dengan nama orang-orang, hampir penuh. Mungkin nama-nama itu adalah mereka yang pernah pula berkunjung di sana dan melakukan hal yang sama denganku.

Lagi, aku berpindah tempat. Akupun disodori sebuah kertas. Isinya lirik lagu. Ia memintaku untuk mengajarinya menyanyikan lagu itu. Hmm, sayang. Aku tak tau lagu itu. Tapi ia memaksa. “Coba dulu.” Haah. Malu rasanya, mendengar ucapan itu. Oke. Akhirnya aku siasati untuk aku baca. Iya, lirik lagu yang aku baca bak sajak puisi cinta #eeaa Terharu, ndredeg, grogi dan entah apalagi :3

Lirik lagu itu, katanya pernah dinyanyiin Glen Fredly apa ya.. judulnya Semua Karena Cinta.
Belum lagi aku dibuat mereka terharu ketika mereka nyanyi Bareng-bareng. Hwaaa. Aku ga mau cengeng :D tapi bener-bener bikin pengen nangis dan meluk mereka.
Belum lama kami bercengkrama dengan mereka, ternyata mereka sudah waktunya makan. Selama mereka makan, kami berjalan menyusuri panti. Menemui setiap dari mereka, orang-orang luar biasa itu. Berkeliling, dan sekedar untuk menyapa mereka.

Allah. Sungguh, bersyukur diri ini telah Kau beri kesempatan untuk mengenal mereka.
Aku belajar banyak hal dari mereka.
Waktu menjelang maghrib. Kamipun berpamit untuk pulang. Dan, perjalanan pulangku, diiringi dengan do’a dan harapan, semoga masih diberi kesempatan untuk ada dan bersama dengan mereka lagi.
Aamiin. 

Minggu, 08 Februari 2015

Sunset di Parangtritis



Sabtu, 7 Februari 2015
 Siluet senja mulai menyapa di pantai selatan. Langit di ujung barat mulai berwarna orange. Sang surya pun perlahan mulai berpulang. Ditemani deburan ombak yang tenang. Matahari turun. Pelan. Warnanya mulai sempurna. Orange. Subhanallah. Sunset-pun menyapa Parangtritis.
“Walaupun berempat juga pasti akan menyenangkan.”
Begitulah pesan salah seorang teman ketika mulai pesimis untuk mengunjungi tempat itu. Hmm, bagaimana tidak? Niatnya mau maen berbanyak, eeh ternyata banyak yang nggak bisa. Bukan deng. Timing-nya aja yang nggak tepat :3 yang pada akhirnya berempat beneran. Septi, Yudik, Meta, Asti. Walaupun semula berempat itu sama mas Huda. Tapi, dia-pun punya alasan sendiri buat nggak ikut.

Mungkin iya, maen yang ‘terlalu’ direncanakan itu malah terlalu banyak pula pertimbangannnya. Paitnya, berujung pada...batal.
Perjalanan yang sudah direncanakan dengan rapi. Pagi, bantuin temen-temen pengurus UKM Penelitian bersih-bersih bentar, siang berangkat, ke rumah Septi. Sore cuss ke Parangtritis, lihat sunset.
Hmm, memang rencana itu kadang tak sesuai dengan kenyataan.
Setelah bercakap dengan orang yang diajak, melalui sms. Ada yang tiba-tiba memeng adapula yang beda presepsi dengan siang. Ahaha. Ada-ada aja. Yang pada akhirnya mas Huda pun fix untuk nggak ikut. Bingung. Terus Meta gimana? :D

Untungnya Dzuhur-pun segera menyapa. Pilihan yang tepat. Sholat! Daripada bingung harus kek gimana mending berduaan dulu sama Allah :3
Lalu, masihkan kau ragu dengan pertolongan-Nya?
Alhamdulillah. Keputusan dengan pikiran yang jernih. Setelah Sholat. Terima kasih dek Enny atas pinjaman motornya. Maaf molor dari perjanjian pengembalian :3

13.15 WIB
Perjalanan pun dimulai. Menuju Pundong. Berkunjung ke rumah teman dan sahabat kami, Septi Kiswandari. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya tibalah pada tempat tujuan. Walaupun ada insiden nggak tau jalan –sebenernya sih, aku udah pernah ke sana, tapi nggak bisa ngapal jalan – hehehe
 Ah. Lagi-lagi. Ciptaan-Nya itu Indah.
Perjalanan menuju Pundong disuguhi dengan bentangan alam yang serba hijau. Kanan kiri jalan memberikan suguhan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Pun ditemani dengan bukit-bukit kecil yang hijau dan sepertinya belum terjamah oleh tangan dan kaki manusia :3
Satu hal yang tiba-tiba muncul dalam perjalanan.
Beginilah kuasa-Nya. Selalu ada rahasia indah dan perhitungan luar biasa. Bantul nggak sama dengan Gunungkidul. Walaupun sama-sama menyuguhkan keindahan alam. Dan tiba-tiba ingatan itu muncul, ketika pulang ke Gunungkidul di musim kemarau. Beda. Tapi itu indah.

Rumah Septi dan MieDes
Setelah bercakap-cakap ria dan melepas rasa lelah, kamipun melanjutkan rencana yang telah tersusun. 
Masak MieDes. 
Makanan ini katanya sih, makanan khas Pundong. Mie nya mirip banget sama spageti. Tapi lebih kenyal, dan bahan bakunya dari singkong. Cara masaknya sih miripan sama masak mie mie pada umumnya. Bedanya, dan uniknya. Eh, maksudnya aku baru tau. Kalo ternyata sayurannya itu nggak ikutan dimasak, tapi dibuat lalapan. Oh, cukup tau. Pantesan. Hehe
Rencananya sih, mau masak bareng. Tapi semua sudah siap sedia. Jadi tinggal ‘mematangkan’. Jadi enak sih, hehehe. Karena kondisinya udah capek dan waktu makan siang –sebenernya- udah terlewatkan.
Setelah melalui beberapa kejadian yang nggak perlu diceritakan, dan akupun baru pertama kali melakukan itu selama masak :3 akhirnya masakan pun jadi. 
Hmm, sedap nian dipandang. Rasanya pun juga nggak kalah sedap kok. Tapi itu menurut penilaian kita pribadi, yang memasak.
Ok. Tibalah saatnya kita menikmati hasil masakan kita. Nggak perlu waktu yang lama kok untuk menghabiskannya. Hhehe.
Karena sudah memasuki waktu Ashar, kitapun memutuskan sholat dulu sebelum melanjutkan perjalanan.

#1 Jembatan Gantung
Jembatan Gantung? 
Aku sih mikirnya jembatan dari kayu yang kalau dilewatin goyang-goyang gitu.
Sampai lah di tempat itu. Jembatan gantung –katanya – yang pada kenyataannya dibawah tetep ada penyangganya. Warna kuning yang mulai memudar. Memang berlapis kayu. Tapi dibawah kayu ada besi-besi, dan penyangga yang kokoh. Indah juga. Sederhana. Tapi kanan kirinya itu lho. Hijau. Alami. Bukit dan sungai. Suasana desanya ngena banget.
Walaupun pada awalnya ada yang takut :D tapi pada akhirnya kita berempat menuju tempat itu. Merasakan jembatan gantung. Merasakan berada di atas dan di tengah sungai. 
Disuguhi dengan bentangan langit yang terlihat luas. Walau tak secerah saat berangkat dari Jogja. Air sungai yang mengalir dengan warna kecoklatan. Bukit bukit kecil, dan terlihat ada beberapa titik yang longsor. Beberapa gerombolan lain yang juga ikut menikmati sore di tempat itu. Di sebelah utara juga ada beberapa anak muda yang masih ababil hehe, yang tiba-tiba menaiki motor agak ‘ugal-ugalan’ di jembatan itu. Hah. Mungkin mereka kurang perhatian, makanya caper.. :3
Di jembatan yang baru, kita juga disuguhi dengan kendaraan jaman dulu. Mirip Andong. Tapi pake sapi. Biasanya pake buat ngangkut hasil panen. Mungkin bendi namanya. Eh, entah deng. Karena kita nggak ada yang inget, apa nama kendaraan itu.

#2 Sunset di Parangtritis
16.30 WIB. Perjalanan kita lanjutkan ke Parangtritis. Melewati jalan desa. Aaak. Jadi merindukan suasana Blekonang. Aku melihat ada masjid yang unik. Kanan jalan, kalau nggak salah utara jalan tepatnya. Masjidnya di kelilingi sama kebon. Dindingnya menggunakan kaca semua. Transparan. Hehehe. Sebelumnya juga melihat adik-adik kecil pulang TPA. Berseragam. Setelah melihat tempatnya yang ternyata bukan masjid, kesimpulan awal kita adalah tempat itu milik perseorangan, tepatnya dibuat oleh perseorangan. Seperti pondokan. Desain dan tata letaknya, itu lho. Unik dan menyejukkan. Yang setelah melihatnya, tiba-tiba ada yang mengucapkan salah satu mimpinya, eeh, salah dua deng. Aamiin. Semoga terwujud. Selagi itu untuk kebaikan? :)

Tibalah kita di Parangtritis. Meta, maafkan aku. Aku nggak bilang dulu kalau kita juga mau ke pantai. Ehehe. Dari kita berempat, Meta-lah yang mengenakan kostum nggak cocok banget buat dipake ke pantai :3
Tepat pertama yang kita tuju adalah tulisan “Pantai Parangtritis”, karena tulisan ini yang baru disana.
PANTAI PARANGTRITIS

Bantul

The Harmony of Nature and Culture
Tulisan itu gagah sekali berdiri. Apalagi kalau malam hari dan terkena sorotan lampu. Pasti lebih indah.

Setelahnya, kita segera mendekat ke air. 
Matahari di ujung barat dan deburan ombak air laut mulai melambai-lambai untuk disaksikan. Walau pantai ini tak seperti pantai-pantai selatan di daerah gunungkidul yang berpasir putih, tapi pantai tetap aja pantai. Pantai yang menyuguhkan deburan ombak dengan tenang, air yang bergerak mengikuti alunannya, dan selalu saja tak membosankan untuk disaksikan.
Perjalanan yang indah.
Pilihan yang tepat.
Menyaksikan sunset di pantai. First time ^_^
Sore itu.
Aku lebih memilih menyaksikan indahnya Ciptaan-Nya, ketika Meta dan Septi asik berfoto. Rindu dengan suara deburan ombak di lautan. Rindu dengan air laut yang menari mengikuti alunan ombak. Rindu air laut yang membentang, luas, seperti tak berbatas. Apalagi sore itu, tak sama dengan perjalananku di pantai-pantai sebelumnya. Aku juga menyaksikan matahari yang ingin berpulang. Mulai berpamit pada kita yang menyaksikannya. Hmm. Subhanallah.
Tak lama kemudian, pemandangan yang kita inginkan pun datang juga.
Sunset.
Siluet senja di ufuk barat. Sang surya yang masih malu-malu, tertutup awan. Langit mulai menguning. Orange tepatnya. Matahari mulai turun. Perlahan. Aaaak. Walau sebelumnya agak pesimis juga bisa melihatnya, karena langit tak seindah sunset di Candi Ijo beberapa hari yang lalu. 
Tapi, ini indah teman. Menyaksikannya tenggelam. Pamit. Berpulang. Seperti ditelan air di lautan. Warnanya orange sempurna. Bulat. Dengan cepat menghilang. Subhanallah. Aku tak mampu melukiskannya dengan kata-kata, kalau kamu belum pernah merasakannya, cobalah. Sekali saja.
Puuaaass.
Selalu diingatkan untuk tak menyombongkan diri. Allah itu sempurna, teman. Maha Sempurna. Menciptakan alam dan seisinya yang begitu istimewa. Termasuk pemandangan senja hari itu.

7 Kura-kura
Sembari menyaksikan pasca matahari tenggelam dan sudah berniat untuk pulang. Tiba-tiba ada bapak-bapak yang menawarkan buah tangan. Gantunga kunci, Bross, Figura foto, dll. Semua dihiasi dengan barang laut. Kerang, batu, pasir. Dengan berbagai polesan tangan-tangan seniman.
Yudik tiba-tiba memilih gantungan kura-kura, untuk kita.
Ini tanpa di rencanakan sebelumnya. Cerita 7 kura-kura akhirnya menutup perjalanan kita di pantai yang sarat akan mitos itu. 7 kura-kura dengan 7 pemilik. Entah apa yang menyatukan. Entah apa yang mendekatkan. Sebuah pertemanan. Huda, Yudik, Umi, Rara, Septi, Meta, Asti.

Kami pun kembali ke rumah, eeh ada yang ke kost deng.
Maghrib di salah satu Mushola sekitar pantai, dan Isya’ di masjid depan rumah Septi. Masjid bangunan baru pasca gempa Jogja. Jam 19.59 kita berpulang, dari Pundong.
Perjalanan malam. Angin malam, suasana desa, kerlap-kerlip lampu di sepanjang jalan, menemani perjalanan kita malam itu. Sawah yang terbentang hijau di siang hari, tampak gelap. Hanya cahaya lampu jalanan dan rumah-rumah di desa seberang yang menerangi.