Selasa, 15 Oktober 2013

Keputusan Terbaik

Tidak ada sedikitpun yang melarang sebuah pertemanan. Sebagai makhluk sosial, kita pasti membutuhkan orang lain dan salah satunya adalah teman. Bahkan dalam islam, pertemanan itu termasuk bagian dari menjalin ukhuwah. Untuk mempererat tali persaudaraan. Tetapi, kadang pertemanan malah membawa banyak mudhorat daripada faedahnya. Khususnya dengan lawan jenis. Bukan begitu? Hanya teman kok apa-apa dicurhatkan. Hanya teman kok mau ngapain aja minta pertimbangan.

Memang masa muda adalah masa dimana keindahan menjadi sebuah keniscayaan. Masa-masa pencarian jati diri, masa-masa yang mungkin bagi sebagian orang dianggap "paling menyenangkan". Tetapi, bagi sebagian orang lainnya bahkan malah dianggap "paling membahayakan".

Hmm, mungkin tak perlu lah dibahas bagaimana menyenangkannya masa muda. Semua pasti bisa membuktikan, semua pasti bisa merasakan. Tetapi bagaimana dengan masa yang membahayakan? Yupps, kadang masa itulah yang sering dilupakan. Terlena dengan kesenangan, lupa dengan resiko.

Salah satunya adalah pertemanan, ya lebih khususnya pertemanan dengan lawan jenis. Hmm, laki-laki sama perempuan kan kayak magnet. Tarik menarik. Mau pake alasan temenan, sahabatan, cuma kenal doank. Nggak bakal bisa dipungkiri, kalau ada unsur ketertarikan, yaa walaupun kadang itu tersimpan sangat rapat sampai-sampai nggak ada yang tau siiih.
*****

Entah sejak kapan Devinta menjadi sering sendiri. Ia yang biasanya kemana-mana dan ngapain aja bersama dengan kedua sahabat karibnya, beberapa hari ini sering sendiri. Pun tak pernah lagi berkumpul bersama saat pulang sekolah. Ia bahkan memilih buru-buru meninggalkan sekolah. Seperti ada sesuatu yang spesial di rumahnya.

Semua berubah 180 derajat. Devinta yang biasanya paling semangat untuk sekedar menengok ruang OSIS di sela-sela sekolah dan sepulang sekolah, beberapa hari ini tak memunculkan batang hidung di tempat itu. Anehnya, tak seorangpun tau apa yang sedang terjadi dengan Devinta, tak terkecuali dengan dua sahabat karib-nya Rinda dan Feldia. Selain nggak sekelas dengannya, pertemuan mereka di sela-sela istirahat masih terjalin seperti biasa. Tak ada ganjalan.

Hanya sekedar untuk memastikan bahwa sahabatnya tidak sedang dalam masalah yang rumit, Rinda dan Feldia mencoba menemui salah satu teman sekelas Devinta. Yaa, untuk sekedar bertanya-tanya tetang perilaku Devinta. Tetapi fakta membuktikan nihil. Devinta masih sama seperti biasa ketika di dalam kelas. Bercanda dengan teman-temannya, ramah dengan sapaannya setiap pagi saat masuk kelas, Selalu menjadi yang ter-PD saat berinteraksi dengan guru, menjadi fasilitator buat teman-temannya yang pengen belajar. Tak sedikitpun berubah.

Usut punya usut setelah melalui beberapa tahap untuk mengetahui penyebab perubahan sikap Devinta yang jarang terlihat di ruang OSIS dan bahkan jarang pula bertegur sapa dengan kedua sahabatnya itu, Akhirnya mereka menemukan jawabannya. Devinta, gadis yang mempunyai pemikiran cukup matang dalam menyelesaikan berbagai permasalahan itu ternyata sedang dekat dengan seorang laki-laki. Tetapi ia mencoba untuk menyembunyikan semua itu. Ia terlalu tertutup dengan segala privasi dirinya yang berhubungan denga laki-laki.

Alfri nama laki-laki itu. Sebenarnya dia bukan orang asing lagi bagi Devinta, pun juga bagi Rinda dan Feldia. Laki-laki itu sudah mereka kenal sejak lama. Tetapi baru akhir-akhir ini ia dekat dengan Devinta. Entah apa penyebabnya. Ketika ditanya kalau Alfri suka dengan Devinta, Ia sama sekali tak meng-iya-kan.

"Oooh, jadi ini penyebabnya. beberapa hari ini kamu udah nggak pernah sama kita lagi, terus nggak pernah ngumpul bareng-bareng lagi di ruang osis itu karena dia?", Celotek Feldia setelah dengan susah payah berhasil membuat Devinta cerita, walaupun hanya sekelumit.

"Bukan gitu juga. Lagi pengen ngrasain nggak sibuk aja sih. Masuk sana isinya cuma ngomongin proker mulu siih, bosen juga", jawab Devinta dengan penuh canda. Obrolan mereka pun berlanjut. ngalor-nglidul nggak jelas.

Akhirnya satu konklusi yang dihasilkan Rinda dan Feldia, "Mungkin mereka saling tau kalau mereka saling suka, jadi tak perlu diungkapkan."
"Yang penting bukti bukan janji." Celetuk Rinda mengakhiri obrolan mereka sepulang dari rumah Devinta.

*****

Mengetahui alasan perubahan sikap Devinta beberapa hari yang lalu membuat Rinda dan Feldia tak lagi mempermasalahkan ketidakhadirannya dalam obrolan-obrolan ringan mereka di ruang yang menurut mereka mampu membesarkan mereka. Tetapi, semakin lama, semakin lama, Devinta seperti menghilang dalam kebersamaan mereka.

Devinta masih terlalu menikmati kedekatannya dengan Alfri. Ya, sekedar teman, dalih mereka. Tetapi Devinta merasa sangat nyaman berbagi dengan Alfri. Laki-laki yang baru dikenalkan kurang dari 6 bulan. Ia merasa lebih nyaman berbagi segalanya dengan Alfri. Tugas sekolah, prestasi, impian, harapan, kondisi dirinya. Bahkan nyamannya melebihi ketika berbagi dengan sahabatnya, Rinda dan Feldia.

Devinta terlalu dinina-bobokan dengan sikap perhatian Alfri. Pun begitu pula sebaliknya. Mungkin seperti ungkapan orang-orang, "kalau sedang jatuh cinta, dunia serasa milik kita berdua."
Padahal, tak satu katapun yang mereka ungkapkan tetang perasaan itu. Perasaan mencintai, perasaan suka, atau apalah itu.

Tetapi sikap menunjukkan segalanya, tanpa kata-kata sikappun mampu melukiskannya. Sikap mereka saling menunjukkan bahwa ada unsur ketertarikan yang mendalam diantara mereka. Dari mulai menanyakan sesuatu yang dianggap penting dan saling dibutuhkan. Kemudian berlanjut dengan sedikit senda gurau yang semakin lama semakin intensif dalam mendalam interaksi mereka. Tanpa mereka sadari. Berlalu begitu saja. Seperti Air, cukup mengalir mengikuti arus. Tak peduli sulitnya medan yang dilalui.

*****

Hingga pada suatu hari, kesadaran itu muncul. Kesadaran akan hubungan yang berlebihan. Kesadaran akan pertemanan yang melampaui batas. Kesadaran akan sikap mereka yang terlalu menuruti hawa nafsu.

Tepat pukul 07.45 selepas Sholat Idul Adha, HP Devinta berdering.

1 New message: Alfri

"Vin, ada yang pengen tak sampein. Tapi aku ragu."

Sesegera mungkin Devinta membalas sms Alfri. "Selamat Idul Qurban, apaan sih, disampein aja kali."

"Sepertinya hubungan kita udah berlebihan deh."
"Emm, walaupun ada positif dan negatifnya."

Devinta terdiam. Mencoba memahami kata-kata Alfri. Hubungan kita berlebihan? Maksudnya? Hati Devinta menjadi gundah. Seperti berperang, antara logika dan perasaan. 'Tidak. Aaah, aku sudah terlalu dekat dengan dia. Mana mungkin aku harus melepasnya? Emm, tapi, benar juga kata Alfri. Terlalu berlebihan. Semenjak  aku dekat dengan dia, aku terlalu mementingkan dia daripada sahabatku yang sudah bertahun-tahun bersama. Tapi. . . aah, entahlah. Aku tak ingin kehilangan dia.'

Devinta terlalu lama berfikir. Tiba-tiba pendapat-pendapat yang mendukung maupun yang menolak bermunculan dikepalanya.

"Vin, Maaf ya. Mungkin semua salahku dulu."

sms Alfri kembali muncul. Hal itu menyadarkan Devinta dari lamunannya. Ia belum membalas sms Alfri.

"Emm, maksudnya berlebihan yang seperti apa ya?"

"Terlalu deket aja. Seperti ada unsur lain dalam pertemanan kita. Aku rasa kamu juga merasakan hal yang sama. Kita temenan seperti biasa aja yaa. Jangan terlalu intensif kek gini? gimana?"

Setelah membaca pesan itu, badan Devinta menjadi panas dingin. Antara percaya dan tidak. Seperti kehilangan sebagian dari raganya. Tetapi dengan cekatan ia segera membalas sms Alfri.
"Oh, iya. Ya nggak papa. It's okay."

"Okey, jaga diri baik-baik ya"

****

Sudah 3 hari Devinta melalui hari-harinya tanpa Alfri. Ya, setelah kesepakatan itu. Mereka akhirnya memutuskan untuk tidak saling menghubungi kalau tidak dalam keadaan sangat mendesak. Tetapi, Devinta menjadi berubah. Ia merasa kehilangan. Tidak ada lagi teman untuk sekedar berbagi, tidak ada lagi teman untuk curhat, tidak ada lagi teman untuk bertukar pikiran. Ia benar-benar merindukan kebersamaannya dengan Alfri. Ia menganggap, hanya dengan Alfri ia mampu terbuka dalam segala hal. Devinta benar-benar merasa sendiri. Terlalu berat menjalani hidup diluar dari kebiasaan.

"Apa yang harus aku lakukan? Aaah, mungkin benar. Hubungan yang terlalu berlebihan itu nggak ada baiknya. Aku terlalu tergantung dengan dia. dan saat dia nggak lagi di sampingku aku jadi nggak punya semangat buat ngapa-ngapain."

"Gimana kabar Rinda dan Feldia ya? Hmm, tapi apakah aku akan kembali kepada mereka setelah beberapa waktu yang lalu aku meninggalkan mereka karena kedekatanku dengan Alfri. Ah, enggak. Bakal malu kalau mereka tau alasannya. Tapi mau gimana lagi??"

Akhirnya Devinta memutuskan untuk kembali bersama sahabat karib-nya. Dan menceritakan semua yang ia alami. termasuk keputusannya bersama Alfri. Dan begitulah kekuatan sahabat. Rinda dan Feldia menerima Devinta dengan senang hati. Walaupun Devinta terlalu lama untuk menyadari kalau seharusnya mampu untuk keluar dari kebiasaan. bahkan berhenti. Yaa, berhenti dari kebiasaan yang ia inginkan. kebiasaan bersama dengan Alfri, kebiasaan untuk selalu terbuka tentang apapun hanya dengan Alfri. Devinta terlalu lama menyadari bahwa kedua sahabatnya sangat welcome dengan segala keluh kesah yang ia rasakan lebih dari Alfri.

TAMAT

*****

Sumber: 10 Dzulhijjah 1432 H

3 komentar:

  1. dalam hidup pasti ada masalah. namun apabila masalah diselesaikan secara bersama dan saling membantu maka akan lebih ringan dan bermanfaat. itu lah arti pertemanan. saling berbagi, saling membantu dan melengkapi.
    so hormati dan hargailah mereka-mereka yang telah hadir dalam kehidupan kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. setelah aku baca ulang dengan cermat.

      sungguh terlalu dan terkutuk bwt mereka2 yang rela mengorbankan persahabatan untuk kepentingan sendiri. ntah apapun kepentingan itu.

      Hapus