Minggu, 27 Oktober 2013

Tentang sebuah ujian

Tentang sebuah ujian kehidupan.
Siapa yang menginginkan adanya ujian. Tentu  setiap orang ketika ditanya seperti itu tidak akan ada yang menginginkan bukan??
Tetapi Allah Maha Adil dan Maha Penyayang. Dengan ujian itulah Allah menujukkan kekuasaan dan kasih sayang-Nya. Walaupun kadang, tidak sedikit orang menghujat ketika menghadapi ujian itu.
Tetapi saya rasa, banyak yang sangat bersyukur kepada-Nya ketika ujian itu menghampirinya.

Sebenarnya, terlalu sakit bagiku ketika kembali mencoba mengingat kenangan-kenangan itu., ah, persisnya sebuah kejadian yang (mungkin) sedikit menyedihkan dan menyakitkan. Tetapi, hidup ibarat roda, yang terus berputar. Kadang di atas, kadang di bawah, kadang sedih kadang seneng, kadang menderita kadang bahagia. Semua sudah diatur. walaupun memang harus ada campur tangan manusia sendiri dalam menentukan.

Awal 2013 lalu, mungkin menjadi masa-masa penuh instopeksi diri bagiku dan keluarga besarku. Hmm, yaa mungkin kata itulah yang mampu mewakili semua kejadian ketika itu. 
Peringatan dari sang Khaliq untuk selalu bersyukur dengan apa yang telah diberikan Sang Kuasa kepada kita.

Ujian yang diberikan Allah bukan sebagai bentuk diskriminasi pada satu pihak tertentu. Percayalah, Allah Maha Adil yang seadil-adilnya. Bukan pula sebagai hukuman, karena ujian adalah wujud kasih sayang Allah kepada kita. Pernah mendengar bahwa semakin tinggi iman kita, semakin tinggi pula ujian yang dihadapi. Dan yang terpenting adalah ujian yang Allah berikan kepada kita adalah sesuai dengan porsi dan kemampuan kita untuk menyelesaikan.

Bermula ketika cucu dari kakaknya bapak sakit, dan harus dibawa ke rumah sakit. beberapa hari harus menginap di rumah sakit untuk memulihkan kondisinya. Aku lupa, sakit apa yang ia keluhkan ketika itu. 

Selang 1 bulanan, ujian itu kembali menimpa. Dan ketika itu terjadi pada Ibu dari bapak. Hmm, mungkin karena faktor umur, hal itu terjadi. Tepat ketika pulang dari ladang, dan waktunya sudah menjelang maghrib. Simbah merasa kehausan. Biasanya ia menaruh minum dibawah ranjang tempat tidur untuk jaga-jaga. Tanpa berfikir panjang, akhirnya simbah mengambil botol minum dibawah tempat tidur untuk sekedar meghilangkan dahaga selepas perjalanan panjang. Tapi ternyata setelah cukup banyak minum, simbah baru sadar bahwa itu adalah minyak tanah. Akibat dari kejadian itu, akhirnya simbah harus (juga) merasakan istirahat di rumah sakit. Yaa, simbah harus menjalani perawatan dari dokter beberapa hari akibat dari keteledorannya minum minyak tanah.

Belum lama simbah sembuh dari sakit, ujian itu kembali lagi datang. Kala itu untuk putri semata wayang dari adik bapak. Akibat dari keteledorannya dalam mengonsumsi makanan di sekolah maupun di rumah, akhirnya ia harus menanggung resikonya. Gadis berumur 14 tahun itu harus menjalani operasi usus buntu dan harus istirahat berminggu-minggu di rumah sakit. terhitung sangat lama untuk menyaksikan ia kembali pulih seperti semula.

Belum pulih benar gadis itu dari sakitnya, keluarga ini kembali mendapat ujian tentang kesakitan . . .
to be continue

Masa Kanak-Kanak

entah kenapa, aku sering sekali membuat catatan tentang perjalanan hidup. Perjalanan yang pernah dilalui adalah kenangan terindah yang tak mungkin dapat terulang kembali. Karenanya ceritalah yang mampu mengabadikan.

Kembali menceritakan masa kanak-kanak. Lucu saja ketika mengingat diriku waktu kecil dan melihat aku yang sekarang. sepertinya nggak mungkin. Tapi itulah perjalanan, tapi itulah kehidupan. Nothing is imposible. Tak ada yang tak mungkin. mau mustahil 180 derajat pun kalau Allah menghendaki pasti terjadi.
Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat jujur, lepas, kreatif, dan bebas. Bukan begitu? Iya, anak kecil belum memikirkan masalah kaya yang udah remaja. juga belum merasa malu mau ini itu. Yang penting bagi mereka adalah kegembiraan.

Ya, begitu pula dengan diriku. Siapa sangka kalau aku dulu mainnya sama laki-laki. Entah karena faktor lingkungan atau memang aku-nya. karena dulu di daerah saya, yang seumuran dengan saya mayoritas laki-laki.

Aku adalah satu-satunya perempuan dalam kelompok bermainku. Yaa, semua itu mungkin bermula ketika saya masuk Taman Kanak-Kanak. Pada saat itu saya ber-25 teman saya (kalau nggak salah) menjadi satu kelas di sekolah itu. Emm, katanya siih, generasiku adalah generasi terakhir dengan jumlah murid terbanyak di tempat itu. jadi bisa dibayangkan, seberapa banyak murid disana sekarang.

Ok, Cuuss ke cerita. Mungkin ini bukan hanya terjadi di Sekolah (Eeeh, Tk maksudnya) di tempat saya. Tempat duduk di TK itu tidak dibuat jejeran dari depan ke belakang kayak di kelas-kelas gitu, tapi tempat duduknya di buat berkelompok dan setiap kelompok ada 1 meja.

Nah, di sinilah awal ceritanya (yang aku ingat). karena tempat duduknya tidak menetap, terserah mau milih yang mana, jadi setiap hari bisa ganti-ganti temen di sampingnya. tapi seringnya sih sama, mungkin dulu waktu kecil juga udah punya rasa klik dengan teman kali ya..
Pernah pada suatu ketika aku dapat tempat duduk yang berbeda dari biasanya. di pojok utara paling belakang. Dengan kelompok teman yang berbeda pula. Naaah, ketika itu pula aku langsung nangis dan marah (kalau nggak salah inget) intinya aku minta pindah tempat duduk. Lari keluar kelas, mencari ibuku untuk pindah tempat duduk di sebelah depan sendiri pojok selatan. Yaa, bersama mereka. kawan-kawan seperjuanganku ketika kecil :P
di meja kelompok depan ujung selatan itu di isi semuanya oleh laki-laki. dan aku merengek meminta untuk diperbolehkan pindah di sana. Akhirnya dengan segala usaha oleh kedua guruku (gurunya namanya bu wastini dan bu darsi, dan bu darsi sampai sekarang selalu mengingatku, mungkin juga tentang hal itu^^)

Tidak hanya tentang itu, itu baru di sekolah. Belum ketika di rumah. Yaa, tidak hanya di sekolah. Pertemanan ku dengan laki-laki itu juga terjadi di rumah. Malah lebih parah kayaknya, hehe.
Yaa, karena dari ujung utara sampai ujung selatan daerahku itu yang seumuran dengan aku adalah laki-laki, mungkin dulu aku dengan sangat terpaksa bermainnya dengan laki-laki.
Terutama nih, bermain sepak bola. Hmm, aku dulu sering sekali bermain bola dengan kawan-kawan kecilku. Malah ketika TK itu frekuensiku bermain sepak bola dan main jantenan (eeh, itu salah satu mainan yang sering dilakukan perempuan di daerahku, mainan pake' kartun yang berasal dari kertas dengan berbagai perlengkapan kayak baju2an, tempat tidur, dll)

Selasa, 15 Oktober 2013

Keputusan Terbaik

Tidak ada sedikitpun yang melarang sebuah pertemanan. Sebagai makhluk sosial, kita pasti membutuhkan orang lain dan salah satunya adalah teman. Bahkan dalam islam, pertemanan itu termasuk bagian dari menjalin ukhuwah. Untuk mempererat tali persaudaraan. Tetapi, kadang pertemanan malah membawa banyak mudhorat daripada faedahnya. Khususnya dengan lawan jenis. Bukan begitu? Hanya teman kok apa-apa dicurhatkan. Hanya teman kok mau ngapain aja minta pertimbangan.

Memang masa muda adalah masa dimana keindahan menjadi sebuah keniscayaan. Masa-masa pencarian jati diri, masa-masa yang mungkin bagi sebagian orang dianggap "paling menyenangkan". Tetapi, bagi sebagian orang lainnya bahkan malah dianggap "paling membahayakan".

Hmm, mungkin tak perlu lah dibahas bagaimana menyenangkannya masa muda. Semua pasti bisa membuktikan, semua pasti bisa merasakan. Tetapi bagaimana dengan masa yang membahayakan? Yupps, kadang masa itulah yang sering dilupakan. Terlena dengan kesenangan, lupa dengan resiko.

Salah satunya adalah pertemanan, ya lebih khususnya pertemanan dengan lawan jenis. Hmm, laki-laki sama perempuan kan kayak magnet. Tarik menarik. Mau pake alasan temenan, sahabatan, cuma kenal doank. Nggak bakal bisa dipungkiri, kalau ada unsur ketertarikan, yaa walaupun kadang itu tersimpan sangat rapat sampai-sampai nggak ada yang tau siiih.
*****

Entah sejak kapan Devinta menjadi sering sendiri. Ia yang biasanya kemana-mana dan ngapain aja bersama dengan kedua sahabat karibnya, beberapa hari ini sering sendiri. Pun tak pernah lagi berkumpul bersama saat pulang sekolah. Ia bahkan memilih buru-buru meninggalkan sekolah. Seperti ada sesuatu yang spesial di rumahnya.

Semua berubah 180 derajat. Devinta yang biasanya paling semangat untuk sekedar menengok ruang OSIS di sela-sela sekolah dan sepulang sekolah, beberapa hari ini tak memunculkan batang hidung di tempat itu. Anehnya, tak seorangpun tau apa yang sedang terjadi dengan Devinta, tak terkecuali dengan dua sahabat karib-nya Rinda dan Feldia. Selain nggak sekelas dengannya, pertemuan mereka di sela-sela istirahat masih terjalin seperti biasa. Tak ada ganjalan.

Hanya sekedar untuk memastikan bahwa sahabatnya tidak sedang dalam masalah yang rumit, Rinda dan Feldia mencoba menemui salah satu teman sekelas Devinta. Yaa, untuk sekedar bertanya-tanya tetang perilaku Devinta. Tetapi fakta membuktikan nihil. Devinta masih sama seperti biasa ketika di dalam kelas. Bercanda dengan teman-temannya, ramah dengan sapaannya setiap pagi saat masuk kelas, Selalu menjadi yang ter-PD saat berinteraksi dengan guru, menjadi fasilitator buat teman-temannya yang pengen belajar. Tak sedikitpun berubah.

Usut punya usut setelah melalui beberapa tahap untuk mengetahui penyebab perubahan sikap Devinta yang jarang terlihat di ruang OSIS dan bahkan jarang pula bertegur sapa dengan kedua sahabatnya itu, Akhirnya mereka menemukan jawabannya. Devinta, gadis yang mempunyai pemikiran cukup matang dalam menyelesaikan berbagai permasalahan itu ternyata sedang dekat dengan seorang laki-laki. Tetapi ia mencoba untuk menyembunyikan semua itu. Ia terlalu tertutup dengan segala privasi dirinya yang berhubungan denga laki-laki.

Alfri nama laki-laki itu. Sebenarnya dia bukan orang asing lagi bagi Devinta, pun juga bagi Rinda dan Feldia. Laki-laki itu sudah mereka kenal sejak lama. Tetapi baru akhir-akhir ini ia dekat dengan Devinta. Entah apa penyebabnya. Ketika ditanya kalau Alfri suka dengan Devinta, Ia sama sekali tak meng-iya-kan.

"Oooh, jadi ini penyebabnya. beberapa hari ini kamu udah nggak pernah sama kita lagi, terus nggak pernah ngumpul bareng-bareng lagi di ruang osis itu karena dia?", Celotek Feldia setelah dengan susah payah berhasil membuat Devinta cerita, walaupun hanya sekelumit.

"Bukan gitu juga. Lagi pengen ngrasain nggak sibuk aja sih. Masuk sana isinya cuma ngomongin proker mulu siih, bosen juga", jawab Devinta dengan penuh canda. Obrolan mereka pun berlanjut. ngalor-nglidul nggak jelas.

Akhirnya satu konklusi yang dihasilkan Rinda dan Feldia, "Mungkin mereka saling tau kalau mereka saling suka, jadi tak perlu diungkapkan."
"Yang penting bukti bukan janji." Celetuk Rinda mengakhiri obrolan mereka sepulang dari rumah Devinta.

*****

Mengetahui alasan perubahan sikap Devinta beberapa hari yang lalu membuat Rinda dan Feldia tak lagi mempermasalahkan ketidakhadirannya dalam obrolan-obrolan ringan mereka di ruang yang menurut mereka mampu membesarkan mereka. Tetapi, semakin lama, semakin lama, Devinta seperti menghilang dalam kebersamaan mereka.

Devinta masih terlalu menikmati kedekatannya dengan Alfri. Ya, sekedar teman, dalih mereka. Tetapi Devinta merasa sangat nyaman berbagi dengan Alfri. Laki-laki yang baru dikenalkan kurang dari 6 bulan. Ia merasa lebih nyaman berbagi segalanya dengan Alfri. Tugas sekolah, prestasi, impian, harapan, kondisi dirinya. Bahkan nyamannya melebihi ketika berbagi dengan sahabatnya, Rinda dan Feldia.

Devinta terlalu dinina-bobokan dengan sikap perhatian Alfri. Pun begitu pula sebaliknya. Mungkin seperti ungkapan orang-orang, "kalau sedang jatuh cinta, dunia serasa milik kita berdua."
Padahal, tak satu katapun yang mereka ungkapkan tetang perasaan itu. Perasaan mencintai, perasaan suka, atau apalah itu.

Tetapi sikap menunjukkan segalanya, tanpa kata-kata sikappun mampu melukiskannya. Sikap mereka saling menunjukkan bahwa ada unsur ketertarikan yang mendalam diantara mereka. Dari mulai menanyakan sesuatu yang dianggap penting dan saling dibutuhkan. Kemudian berlanjut dengan sedikit senda gurau yang semakin lama semakin intensif dalam mendalam interaksi mereka. Tanpa mereka sadari. Berlalu begitu saja. Seperti Air, cukup mengalir mengikuti arus. Tak peduli sulitnya medan yang dilalui.

*****

Hingga pada suatu hari, kesadaran itu muncul. Kesadaran akan hubungan yang berlebihan. Kesadaran akan pertemanan yang melampaui batas. Kesadaran akan sikap mereka yang terlalu menuruti hawa nafsu.

Tepat pukul 07.45 selepas Sholat Idul Adha, HP Devinta berdering.

1 New message: Alfri

"Vin, ada yang pengen tak sampein. Tapi aku ragu."

Sesegera mungkin Devinta membalas sms Alfri. "Selamat Idul Qurban, apaan sih, disampein aja kali."

"Sepertinya hubungan kita udah berlebihan deh."
"Emm, walaupun ada positif dan negatifnya."

Devinta terdiam. Mencoba memahami kata-kata Alfri. Hubungan kita berlebihan? Maksudnya? Hati Devinta menjadi gundah. Seperti berperang, antara logika dan perasaan. 'Tidak. Aaah, aku sudah terlalu dekat dengan dia. Mana mungkin aku harus melepasnya? Emm, tapi, benar juga kata Alfri. Terlalu berlebihan. Semenjak  aku dekat dengan dia, aku terlalu mementingkan dia daripada sahabatku yang sudah bertahun-tahun bersama. Tapi. . . aah, entahlah. Aku tak ingin kehilangan dia.'

Devinta terlalu lama berfikir. Tiba-tiba pendapat-pendapat yang mendukung maupun yang menolak bermunculan dikepalanya.

"Vin, Maaf ya. Mungkin semua salahku dulu."

sms Alfri kembali muncul. Hal itu menyadarkan Devinta dari lamunannya. Ia belum membalas sms Alfri.

"Emm, maksudnya berlebihan yang seperti apa ya?"

"Terlalu deket aja. Seperti ada unsur lain dalam pertemanan kita. Aku rasa kamu juga merasakan hal yang sama. Kita temenan seperti biasa aja yaa. Jangan terlalu intensif kek gini? gimana?"

Setelah membaca pesan itu, badan Devinta menjadi panas dingin. Antara percaya dan tidak. Seperti kehilangan sebagian dari raganya. Tetapi dengan cekatan ia segera membalas sms Alfri.
"Oh, iya. Ya nggak papa. It's okay."

"Okey, jaga diri baik-baik ya"

****

Sudah 3 hari Devinta melalui hari-harinya tanpa Alfri. Ya, setelah kesepakatan itu. Mereka akhirnya memutuskan untuk tidak saling menghubungi kalau tidak dalam keadaan sangat mendesak. Tetapi, Devinta menjadi berubah. Ia merasa kehilangan. Tidak ada lagi teman untuk sekedar berbagi, tidak ada lagi teman untuk curhat, tidak ada lagi teman untuk bertukar pikiran. Ia benar-benar merindukan kebersamaannya dengan Alfri. Ia menganggap, hanya dengan Alfri ia mampu terbuka dalam segala hal. Devinta benar-benar merasa sendiri. Terlalu berat menjalani hidup diluar dari kebiasaan.

"Apa yang harus aku lakukan? Aaah, mungkin benar. Hubungan yang terlalu berlebihan itu nggak ada baiknya. Aku terlalu tergantung dengan dia. dan saat dia nggak lagi di sampingku aku jadi nggak punya semangat buat ngapa-ngapain."

"Gimana kabar Rinda dan Feldia ya? Hmm, tapi apakah aku akan kembali kepada mereka setelah beberapa waktu yang lalu aku meninggalkan mereka karena kedekatanku dengan Alfri. Ah, enggak. Bakal malu kalau mereka tau alasannya. Tapi mau gimana lagi??"

Akhirnya Devinta memutuskan untuk kembali bersama sahabat karib-nya. Dan menceritakan semua yang ia alami. termasuk keputusannya bersama Alfri. Dan begitulah kekuatan sahabat. Rinda dan Feldia menerima Devinta dengan senang hati. Walaupun Devinta terlalu lama untuk menyadari kalau seharusnya mampu untuk keluar dari kebiasaan. bahkan berhenti. Yaa, berhenti dari kebiasaan yang ia inginkan. kebiasaan bersama dengan Alfri, kebiasaan untuk selalu terbuka tentang apapun hanya dengan Alfri. Devinta terlalu lama menyadari bahwa kedua sahabatnya sangat welcome dengan segala keluh kesah yang ia rasakan lebih dari Alfri.

TAMAT

*****

Sumber: 10 Dzulhijjah 1432 H

Sabtu, 12 Oktober 2013

semua karena cinta



ini tulisan nemu di folder yang lamaaa sekali tak ku buka, entah dari mana asalnya lupa

Sejenak aku tanya……..
adakah salah dengan cintaku ini
aku merasa kecil dari kehidupan yang mewarnaimu
aku merasa berdosa dari kebahagiaanmu dengannya
aku merasa hina dari rasa yang membelenggu jiwa
Tapi aku tak kuasa
menahan dentuman gelora rasa ini
aku tak mampu lagi
bentengi diri dari luapan asmara tentangmu
aku tak bisa menutup suara hatiku
hingga malam itu
kejujuran telah bimbangkan diriku
Sejatinya aku tak ingin
semua terungkap dalam goresan nyata
biar rahasia hati aku timbun sendiri
diantara reruntuhan sukma yang penuh bilur rindu
aku akan simpan semburat jinggamu
di lubuk terdalam segumpal putih hatiku
Kini setelah nyata membuai ikatan
aku semakin meragu
aku semakin memanjakan kekalutanku
aku terombang ambingkan oleh namamu
bak perahu kecil di tengah lautan dalam badai melintas
Aku merasa terdampar
di gurun ketidak pastian kehidupan
yang memenjarakan aku
dalam ruang gulita tak teraba
melemparkan aku
ke tempat yang tak terjamah oleh nafas
aku terkulai merintih berteman gundah
kembali aku tanya dalam ragu
Salahkah aku mencintaimu…………