Tidak ada sedikitpun yang melarang sebuah pertemanan.
Sebagai makhluk sosial, kita pasti membutuhkan orang lain dan salah
satunya adalah teman. Bahkan dalam islam, pertemanan itu termasuk
bagian dari menjalin ukhuwah. Untuk mempererat tali persaudaraan.
Tetapi, kadang pertemanan malah membawa banyak mudhorat daripada
faedahnya. Khususnya dengan lawan jenis. Bukan begitu? Hanya teman kok
apa-apa dicurhatkan. Hanya teman kok mau ngapain aja minta
pertimbangan.
Memang masa muda adalah masa dimana keindahan menjadi sebuah
keniscayaan. Masa-masa pencarian jati diri, masa-masa yang mungkin bagi
sebagian orang dianggap "paling menyenangkan". Tetapi, bagi sebagian
orang lainnya bahkan malah dianggap "paling membahayakan".
Hmm, mungkin tak perlu lah dibahas bagaimana menyenangkannya masa
muda. Semua pasti bisa membuktikan, semua pasti bisa merasakan. Tetapi
bagaimana dengan masa yang membahayakan? Yupps, kadang masa itulah
yang sering dilupakan. Terlena dengan kesenangan, lupa dengan resiko.
Salah satunya adalah pertemanan, ya lebih khususnya pertemanan
dengan lawan jenis. Hmm, laki-laki sama perempuan kan kayak magnet.
Tarik menarik. Mau pake alasan temenan, sahabatan, cuma kenal doank.
Nggak bakal bisa dipungkiri, kalau ada unsur ketertarikan, yaa walaupun
kadang itu tersimpan sangat rapat sampai-sampai nggak ada yang tau
siiih.
*****
Entah
sejak kapan Devinta menjadi sering sendiri. Ia yang biasanya
kemana-mana dan ngapain aja bersama dengan kedua sahabat karibnya,
beberapa hari ini sering sendiri. Pun tak pernah lagi berkumpul bersama
saat pulang sekolah. Ia bahkan memilih buru-buru meninggalkan sekolah.
Seperti ada sesuatu yang spesial di rumahnya.
Semua
berubah 180 derajat. Devinta yang biasanya paling semangat untuk sekedar
menengok ruang OSIS di sela-sela sekolah dan sepulang sekolah, beberapa
hari ini tak memunculkan batang hidung di tempat itu. Anehnya, tak
seorangpun tau apa yang sedang terjadi dengan Devinta, tak terkecuali
dengan dua sahabat karib-nya Rinda dan Feldia. Selain nggak sekelas
dengannya, pertemuan mereka di sela-sela istirahat masih terjalin
seperti biasa. Tak ada ganjalan.
Hanya sekedar untuk
memastikan bahwa sahabatnya tidak sedang dalam masalah yang rumit, Rinda
dan Feldia mencoba menemui salah satu teman sekelas Devinta. Yaa, untuk
sekedar bertanya-tanya tetang perilaku Devinta. Tetapi fakta
membuktikan nihil. Devinta masih sama seperti biasa ketika di dalam
kelas. Bercanda dengan teman-temannya, ramah dengan sapaannya setiap
pagi saat masuk kelas, Selalu menjadi yang ter-PD saat berinteraksi
dengan guru, menjadi fasilitator buat teman-temannya yang pengen
belajar. Tak sedikitpun berubah.
Usut punya usut
setelah melalui beberapa tahap untuk mengetahui penyebab perubahan sikap
Devinta yang jarang terlihat di ruang OSIS dan bahkan jarang pula
bertegur sapa dengan kedua sahabatnya itu, Akhirnya mereka menemukan
jawabannya. Devinta, gadis yang mempunyai pemikiran cukup matang dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan itu ternyata sedang dekat dengan
seorang laki-laki. Tetapi ia mencoba untuk menyembunyikan semua itu. Ia
terlalu tertutup dengan segala privasi dirinya yang berhubungan denga
laki-laki.
Alfri nama laki-laki itu. Sebenarnya dia
bukan orang asing lagi bagi Devinta, pun juga bagi Rinda dan Feldia.
Laki-laki itu sudah mereka kenal sejak lama. Tetapi baru akhir-akhir ini
ia dekat dengan Devinta. Entah apa penyebabnya. Ketika ditanya kalau
Alfri suka dengan Devinta, Ia sama sekali tak meng-iya-kan.
"Oooh,
jadi ini penyebabnya. beberapa hari ini kamu udah nggak pernah sama
kita lagi, terus nggak pernah ngumpul bareng-bareng lagi di ruang osis
itu karena dia?", Celotek Feldia setelah dengan susah payah berhasil
membuat Devinta cerita, walaupun hanya sekelumit.
"Bukan
gitu juga. Lagi pengen ngrasain nggak sibuk aja sih. Masuk sana isinya
cuma ngomongin proker mulu siih, bosen juga", jawab Devinta dengan penuh
canda. Obrolan mereka pun berlanjut. ngalor-nglidul nggak jelas.
Akhirnya
satu konklusi yang dihasilkan Rinda dan Feldia, "Mungkin mereka saling
tau kalau mereka saling suka, jadi tak perlu diungkapkan."
"Yang penting bukti bukan janji." Celetuk Rinda mengakhiri obrolan mereka sepulang dari rumah Devinta.
*****
Mengetahui
alasan perubahan sikap Devinta beberapa hari yang lalu membuat Rinda
dan Feldia tak lagi mempermasalahkan ketidakhadirannya dalam
obrolan-obrolan ringan mereka di ruang yang menurut mereka mampu
membesarkan mereka. Tetapi, semakin lama, semakin lama, Devinta seperti
menghilang dalam kebersamaan mereka.
Devinta masih
terlalu menikmati kedekatannya dengan Alfri. Ya, sekedar teman, dalih
mereka. Tetapi Devinta merasa sangat nyaman berbagi dengan Alfri.
Laki-laki yang baru dikenalkan kurang dari 6 bulan. Ia merasa lebih
nyaman berbagi segalanya dengan Alfri. Tugas sekolah, prestasi, impian,
harapan, kondisi dirinya. Bahkan nyamannya melebihi ketika berbagi
dengan sahabatnya, Rinda dan Feldia.
Devinta terlalu
dinina-bobokan dengan sikap perhatian Alfri. Pun begitu pula sebaliknya.
Mungkin seperti ungkapan orang-orang, "kalau sedang jatuh cinta, dunia
serasa milik kita berdua."
Padahal, tak satu katapun yang mereka ungkapkan tetang perasaan itu. Perasaan mencintai, perasaan suka, atau apalah itu.
Tetapi
sikap menunjukkan segalanya, tanpa kata-kata sikappun mampu
melukiskannya. Sikap mereka saling menunjukkan bahwa ada unsur
ketertarikan yang mendalam diantara mereka. Dari mulai menanyakan
sesuatu yang dianggap penting dan saling dibutuhkan. Kemudian berlanjut
dengan sedikit senda gurau yang semakin lama semakin intensif dalam
mendalam interaksi mereka. Tanpa mereka sadari. Berlalu begitu saja.
Seperti Air, cukup mengalir mengikuti arus. Tak peduli sulitnya medan
yang dilalui.
*****
Hingga pada suatu
hari, kesadaran itu muncul. Kesadaran akan hubungan yang berlebihan.
Kesadaran akan pertemanan yang melampaui batas. Kesadaran akan sikap
mereka yang terlalu menuruti hawa nafsu.
Tepat pukul 07.45 selepas Sholat Idul Adha, HP Devinta berdering.
1 New message: Alfri
"Vin, ada yang pengen tak sampein. Tapi aku ragu."
Sesegera mungkin Devinta membalas sms Alfri. "Selamat Idul Qurban, apaan sih, disampein aja kali."
"Sepertinya hubungan kita udah berlebihan deh."
"Emm, walaupun ada positif dan negatifnya."
Devinta
terdiam. Mencoba memahami kata-kata Alfri. Hubungan kita berlebihan?
Maksudnya? Hati Devinta menjadi gundah. Seperti berperang, antara logika
dan perasaan. 'Tidak. Aaah, aku sudah terlalu dekat dengan dia. Mana
mungkin aku harus melepasnya? Emm, tapi, benar juga kata Alfri. Terlalu
berlebihan. Semenjak aku dekat dengan dia, aku terlalu mementingkan dia
daripada sahabatku yang sudah bertahun-tahun bersama. Tapi. . . aah,
entahlah. Aku tak ingin kehilangan dia.'
Devinta terlalu lama berfikir. Tiba-tiba pendapat-pendapat yang mendukung maupun yang menolak bermunculan dikepalanya.
"Vin, Maaf ya. Mungkin semua salahku dulu."
sms Alfri kembali muncul. Hal itu menyadarkan Devinta dari lamunannya. Ia belum membalas sms Alfri.
"Emm, maksudnya berlebihan yang seperti apa ya?"
"Terlalu
deket aja. Seperti ada unsur lain dalam pertemanan kita. Aku rasa kamu
juga merasakan hal yang sama. Kita temenan seperti biasa aja yaa. Jangan
terlalu intensif kek gini? gimana?"
Setelah membaca
pesan itu, badan Devinta menjadi panas dingin. Antara percaya dan tidak.
Seperti kehilangan sebagian dari raganya. Tetapi dengan cekatan ia
segera membalas sms Alfri.
"Oh, iya. Ya nggak papa. It's okay."
"Okey, jaga diri baik-baik ya"
****
Sudah
3 hari Devinta melalui hari-harinya tanpa Alfri. Ya, setelah
kesepakatan itu. Mereka akhirnya memutuskan untuk tidak saling
menghubungi kalau tidak dalam keadaan sangat mendesak. Tetapi, Devinta
menjadi berubah. Ia merasa kehilangan. Tidak ada lagi teman untuk
sekedar berbagi, tidak ada lagi teman untuk curhat, tidak ada lagi teman
untuk bertukar pikiran. Ia benar-benar merindukan kebersamaannya dengan
Alfri. Ia menganggap, hanya dengan Alfri ia mampu terbuka dalam segala
hal. Devinta benar-benar merasa sendiri. Terlalu berat menjalani hidup
diluar dari kebiasaan.
"Apa yang harus aku lakukan?
Aaah, mungkin benar. Hubungan yang terlalu berlebihan itu nggak ada
baiknya. Aku terlalu tergantung dengan dia. dan saat dia nggak lagi di
sampingku aku jadi nggak punya semangat buat ngapa-ngapain."
"Gimana
kabar Rinda dan Feldia ya? Hmm, tapi apakah aku akan kembali kepada
mereka setelah beberapa waktu yang lalu aku meninggalkan mereka karena
kedekatanku dengan Alfri. Ah, enggak. Bakal malu kalau mereka tau
alasannya. Tapi mau gimana lagi??"
Akhirnya Devinta
memutuskan untuk kembali bersama sahabat karib-nya. Dan menceritakan
semua yang ia alami. termasuk keputusannya bersama Alfri. Dan begitulah
kekuatan sahabat. Rinda dan Feldia menerima Devinta dengan senang hati.
Walaupun Devinta terlalu lama untuk menyadari kalau seharusnya mampu
untuk keluar dari kebiasaan. bahkan berhenti. Yaa, berhenti dari
kebiasaan yang ia inginkan. kebiasaan bersama dengan Alfri, kebiasaan
untuk selalu terbuka tentang apapun hanya dengan Alfri. Devinta terlalu
lama menyadari bahwa kedua sahabatnya sangat welcome dengan segala keluh
kesah yang ia rasakan lebih dari Alfri.
TAMAT
*****
Sumber: 10 Dzulhijjah 1432 H