Guyuran air hujan yang
seolah tak ingin berhenti sore ini, mengingatkanku dengan perjalanan yang
pernah ku lalui tahun 2015 lalu. Perjalanan di tengah derasnya air hujan,
gelapnya malam, dan dinginnya percikan air dalam tubuh. Perjalanan yang diawali
dengan hasrat dan keinginan untuk mencoba, yang sebenarnya karena sering dipameri foto-foto menakjubkan.
Perjalanan pertama mendaki gunung, bersama teman-teman kelas, Gunung Merbabu, 18-20 April 2015.
Ruang baca fakultas yang
terletak di pojok barat gedung dekanat FE UNY menjadi saksi kita yang meniatkan
perjalanan ini. Kita, yang kala itu menjadi mahasiswa (menjelang) semester
akhir di pendidikan akuntansi, tetiba punya rencana buat have fun bareng sebelum lulus. Saking
niatnya kita membuat kenangan yang tak terlupakan di kelas, Diksi A,
sampai-sampai ada yang mengajukan diri menjadi panitia utama. Duh. Dulu, aku mikirnya lebay banget naik gunung harus bentuk
panitia segala. Tapi ternyata, aku salah menduga. Perjalanan sedekat apapun,
tanpa direncanakan hanya akan menjadikan kita orang yang tak tau arah. Harus
kemana dan harus bagaimana. Apalagi kita membawa rombongan yang tak sedikit.
Wafiq. Laki-laki berpostur
besar, yang beratnya hampir 3x dari berat badanku. #Eeeh. Maksudnya kala itu.
Ia mengajukan diri menjadi volounteer dalam agenda have fun bareng ini. Tentunya, bersama dengan cowok-cowok ganteng
lainnya. Ditto, Titis, Rochmat, Arief, Muji, Tri. Yaa. Karena cuma mereka yang
ganteng di kelas. Sementara yang lain, aku salah satunya. Terima jadi saja,
males juga sih ribet ngurus ini itu.
Namanya bersama, urusan
setuju dan tidak setuju, mau dan tidak mau, bisa dan tidak bisa lumrah adanya.
Menjadi sangat pelik urusannya bila harus memaksakan. Maka, membiarkan mereka
menentukan keikutsertaan adalah pilihan yang tepat.
Singkat cerita, setelah merencanakan
banyak hal. Tempat dan waktu tentunya. Jadilah, kita menyepakati untuk mendaki.
Waaaah. Mendaki kemana? Gunung Merbabu. Katanya sih gunung ini tepat buat
pemula. Nggak susah susah amat. Duh.
Kayak mau ujian aja. He. Waktu yang kita tentukan adalah 18 April 2015.
Tepatnya hari sabtu. Daaan, karena satu dan lain hal. Akhirnya kita pergi
mendaki dengan ‘perwakilan’ kelas. Haha. Gitu aku nyebutnya. Why? Karena akhirnya yang ndaki nggak
semua. Setelah ijin sana sini, jadilah kita beeer... berapa ya? Bersekian lah.
Nggak nyampe sepuluh. Tapi itu sudah sangat cukup sebagai ‘perwakilan’ kelas
kok. :3
Ini kita. ‘Perwakilan’ Diksi A 2012 yang siap mendaki.
Akhirnya kita berangkat bersembilan. Waaah.
Banyak juga lho. Dengan satu penyusup #eeh. Dan inilah kita (!)
Cowok berkacamata paling
pojok itu namanya, Titis. Jangan
tanya pengalaman mendaki padanya. Sudah banyak puncak-puncak tertinggi yang ia
sapa tentunya. Sebelahnya, ada Rochmad.
Cowok kelahiran Gunungkidul ini, 11 12 laah sama Titis soal mendaki. Selama
perjalanan nanti, mereka akan jadi leader
kita. Baiklah. Bawa kita ke puncak, dan
antarkan kita pulang kembali.
Cewek pake jaket pink itu
namanya Devie. Nah ini. Cewek yang
paling berpengalaman dalam mendaki, diantara kita. Cewek yang hobi travelling ini yang membuatku ‘mau’ ikut
mendaki (akhirnya). Ditto, nama
laki-laki berpostur besar di samping Devie. Pengalaman mendaki? Emm. Yang jelas
dia bukan newbie kaya aku lah. Nah,
sebelahnya ada Muji. Cowok pendiem
yang satu ini, juga bisa dibilang newbie lho
soal daki mendaki. Btw, dia batal ngajak ‘temennya’ buat ikut gabung. Ah. Tak
apa. Masih ada kita, Muj. :D
Cewek-cewek paling pojok
ini, aku, Asti, dan Danti. Ini orang ter-newbie
dalam rombongan. Jangan tanya soal mendaki pada kita. Tentu, bukan kita
ahlinya. Tapi, tenanglah. Ada mereka. Ahli gunung yang akan mengantar dan
menjaga kita. Tsah.
Nah. Cowok yang duduk di
tengah itu namanya mas willy. Dia
kakak angkatan kita, yang tetiba pengen ikut. Pengalaman mendaki? Wah. Dia
ahlinya soal itu. Diantara rombongan, dia satu-satunya yang nggak bawa apa-apa.
Serasa pergi ke mall gitu, cuma bawa tas yang isinya barang pribadi. Ehehe. Oh
ya. Ada satu lagi. Namanya Wafiq.
Yah, dia nggak ikut foto pemberangkatan. Soalnya nunggu dijalan. Bukan termasuk
golongan newbie kayak aku kok.
Kisah perjalanan sembilan
anak manusia akan dimulai. Perjalanan untuk semakin mensyukuri kuasa-Nya.
Perjalanan untuk menyadari, betapa kecilnya kita, dan betapa tak pantasnya kita
menyombongkan diri. Ada Allah Yang Maha Besar.
Sekitar pukul 13.00 kita
janjian kumpul. Jangan tanya, “kenapa kumpulnya siang, mau berangkat jam
berapa?” (lagi), karena sudah banyak yang bertanya semacam itu padaku. Maklum
lah. Kita ini orang-orang yang (sok) sibuk. Banyak acara sana sini, tapi main
tetep jalan. Jadilah kita memutuskan untuk berangkat sore.
Hima diksi menjadi titik
kumpul kita. Mengumpulkan barang bawaan, dan menatanya kembali. Memastikan,
cewek-cewek tak membawa barang banyak dan berat. Senangnyaa. Perjalanan ini akan menyenangkan. Ditto dan Wafiq jadi
orang yang bermodal untuk perjalanan ini. Kalian tau? Bahkan sampai-sampai beli
carier, sendal gunung, dan, celana
apalah namanya. Baru. Wah. Semoga menjadi bersejarah (!).
Aku? Untung aku punya orang
yang berbaik hati untuk meminjamkan segalanya. So, aku hanya bermodalkan diri. Hhee. Bahkan, saking newbie-nya aku, sampe-sampe di-packing-in (maaf bahasanya belepotan). Dikasih wejangan sana-sini.
<3 Baiklah, terima kasih, Kak. Tenang. Asti ini wanita yang kuat. Aku akan
baik-baik saja, dan pulang dalam keadaan yang baik-baik saja (juga).
Aku tidak ingat pasti, jam
berapa kita berangkat. Hampir setengah 3 atau bahkan lebih dari itu. Kami
bersembilan, dengan 5 motor. Siap melaju, menuju Selo, jalur pendakian termudah
(katanya).
Namanya perjalanan, tak
selalu lurus dan mulus sesuai rencana bukan? Begitupun dengan perjalanan ini.
Tepatnya di Magelang, setelah gapura magelang. You know lah. Ada ‘cegatan’. Duh. Udah kesekian kalinya aku
melewati tempat itu, dan selalu ada cegatan. Hehe. Rejeki. Pada akhirnya, kita
harus meninggalkan satu orang dalam rombongan. Karena apa ya? Aku sedikit
melupakannya. Karena lampunya mati, atau bagaimana. Entah. Mas Willy memutuskan
untuk tidak lanjut naik, dan memilih untuk kembali. Biar nggak kena tilang.
Jadilah kita hanya berdelapan. Tanpa mas Willy. Yaah. Sedih sih. Tapi apa boleh
buat.
Mendung gelap menyelimuti
langit magelang. Hitam pekat. Dibarengi dengan petir yang menggelegar. Tetiba.
Hujan mengguyur kota ini. Perjalanan kita pun harus ditemani dengan guyuran air
hujan. Sampai di daerah Ketep menjulu jalur Selo, salah satu ban motor dari
rombongan kita ada yang bermasalah, tapi untunglah bisa digunakan. Karena kondisi
hujan, dan hari sudah mulai gelap. Kami memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan. Lusa saat kita pulang, kita ke bengkel dulu untuk memperbaiki motor
yang bermasalah tadi.
Sesampainya di Selo, ada
satu dan satu-satunya supermarket. Kita berhenti untuk membeli beberapa botol
air mineral sebagai bekal. Memang sudah kita rencanakan untuk membeli di tempat
ini. Biar nggak repot dari awal. Aku sih manut-manut aja, pokoknya sendiko dawuh.
Di sini aku merasakan
atmosfer itu. Senang. Haru. Sedikit tidak percaya. Rombongan hilir mudik
melalui jalan aspak sempit ini. Ada yang berboncengan, ada yang sendiri. Mengenakan carier-carier besar.
Setiap dari kita ada yang mendahului, selalu menyapa, “Mari mas”, “Duluan mas”.
Ah. Padahal tidak saling kenal.
Supermarket ini menjadi
salah satu tempat bertukar informasi. Mereka yang dari Merbabu dan kita yang
menuju Merbabu. “Gimana mas di sana? Hujan?”. Basa-basi yang (mungkin) selalu
terlontar sesama pendaki. Tapi ini mengesankan.
Kita melanjutkan
perjalanan. “Sebentar lagi kita sampai basecamp.”
Ujar temanku di motor sebelah. ‘Alhamdulillah.
Aku kira masih sejaman lagi. Ternyata nggak jauh.’ Hujan malam itu sudah
reda, sekitar jam enam sore. Jalanan sudah naik turun, dan berkelok-kelok.
Jalanan khas kaki gunung. Beberapa motor saling berdekatan. Jalanan licin
selepas hujan membuat beberapa orang memperlambat kecepatan motornya, memilih
berhati-hati.
Tanjakan tajam dan jalan
berbatu membuat beberapa pembonceng memilih turun dan berjalan kaki.
“Muj, aku turun aja ya.”
“Nggak usah, Ast.”
Baiklah. Aku tetap diatas
motor yang dipenuhi dengan rasa was-was. Tanjakan pathuk menuju Wonosari mah
apa. Lewaaat.
“Ast, kamu turun aja deng.
Danti udah di depan itu.”
Akhirnya Muji memintaku
untuk turun. Aku bergegas turun. Menghampiri Danti. Hanya beberapa saat.
Jalanan sudah membaik. Kita membonceng lagi.
Baru beberapa menit kita
melewati jalur ini, tanjakan tajam terlihat dari kejauhan. Sorot lampu motor
padat di ketinggian itu sejauh mata memandang. ‘Ternyata tanjakan tadi tidak ada apa-apanya’.
“Turun sini aja. Nanti yang
bisa naik, balik ke bawah buat ambil barang (tas).” Ujar salah seorang teman.
Kita turun. Empat motor naik. Berjuang sampai basecamp. Aku, Devie, Danti turun. Membawa barang bawaan yang
lumayan (berat).
“Kalo lewat Selo, jalan ini
yang tanjakannya tinggi. Jadi kalo mau sampai basecamp mesti gini (red- jalan)”, Devie yang sudah berpengalaman,
berbagi pada kita. Aku dan Danti hanya diam. Barang bawaan yang harus kami bawa
ditambah harus jalan naik membuat kami memilih untuk mengatur nafas. ‘Ini belum ada apa-apa’ ujarku dalam
hati.
Satu per satu dari kami
dijemput dengan cowok-cowok yang sudah sampai atas. Barang bawaan terlebih
dulu, tentunya.
“Alhamdulillah. Akhirnya. Basecamp.”
Hampir pukul 7 malam. Kita
memilih tempat di bagian dalam untuk sekedar melepas penat dalam perjalanan dan
packing ulang. Bergegas kita
menunaikan sholat yang sudah tertunda selama perjalanan. Selepas itu, kita
melakukan obrolan ringan, ditemani dengan segelas teh panas, yang ketika kita
minum sudah menjadi dingin. Pun kita juga mencicipi makanan terlezat di gunung,
“nasi telur” khas Selo. Ahaha. Kata Wafiq akan menjadi makan terlezat selama
dua hari kedepan.
Jam 9an malam kita (baru)
siap untuk memulai petualangan. Sarung tangan, syal, mantel, senter, permen,
coklat, madu, air mineral. Cek. Cek. Sudah di tempat yang mudah diambil? Aaah.
Persiapan pun sangat mengesankan. Rindu.
Mari menjadi Si Bolang.
Inilah perjalanan kami menyusuri Gunung Merbabu.