"Apa-apaan sih, Ndre. Nggak lucu tau!!"
Nadaku meninggi
ketika Andre tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Suasana yang begitu
menyenangkan menjadi mencekam, tegang dan kacau. Bagaimana tidak, tanpa
ba bi bu Andre meminta untuk tak berhubungan terlebih dahulu. Bukan
tanpa alasan, keinginannya untuk fokus dengan skripsi yang sedang ia
kerjakan menjadi alasan utamanya.
"Bukannya aku tak mendukungmu untuk lulus cepat, Ndre. Tapi kamu tau kan bagaimana aku tanpamu?"
Aku
tertunduk, diam. Hatiku berkecamuk. Banyak hal yang aku pikirkan dengan
permintaan kekasihku ini. Orang yang selalu memberiku semangat dalam
menjalani hidup.
Aku dengan Andre telah terbiasa bersama
lebih dari 2 tahun lamanya. Hari-hari menjadi lebih berwarna ketika
bersama dengannya. Laki-laki yang berkulit putih keturunan chinese ini
tipe laki-laki yang sangat aku idam-idamkan. Diamnya selalu mempunyai
arti, bicaranya selalu sampai ke hati. Pendiam tapi tegas. Dia bukan
tipe orang yang romantis, tapi selalu mampu membuatku nyaman ada di
sampingnya.
'Bagaimana mungkin aku harus menunda
kebersamaan itu? Bagaimana mungkin? Mungkinkah aku bisa tetap seperti
ini? Menjalani hidup dan selalu semangat menggapai impian-impianku. Ahh,
aku sudah terlalu terbiasa dengannya, suka dan duka sudah terlalu
banyak aku lalui bersamanya. Bahkan perjalanan hidupku sudah ku buat
bersamanya.....'
Pikiranku tak tentu arahnya. Aku tak
mampu membayangkan bagaimana aku harus menjalani semua ini sendiri.
Tanpanya. Tanpa Andre, yang selalu sabar menitihku membuat jejak-jejak
kehidupanku. Membantuku menggapai asa-asa yang ingin ku raih.
Sementara,
Andre masih terdiam. Tampak wajahnya begitu padam, tak sedikitpun
terpancar rona kebahagiaan dari air mukanya. Kebimbangannya dengan
keputusan yang sedang ia lakukan masih terlihat begitu jelas. Antara
tega dan tak tega denganku.
"Ndre, bicara padaku. Kamu hanya bercanda kan?"
Aku
mencoba memberanikan diri menatapnya. Tapi tak sedikitpun aku mampu
melihat wajahnya, ia mencoba menyembunyikan kegundahan itu kepadaku.
"Ndre, Aku mohon. Lihat aku, lihat aku dan bilang kalau kamu bohong."
Air
mataku mula membasahi pipiku. Tangis yang aku pendam sedari tadi tak
mampu aku bendung. Aku tak bisa membohongi perasaanku. Rasa yang sangat
aku takutkan sejak aku memilikinya. Takut kehilangannya.
"Ndre, Please. Jangan buat aku seperti ini."
Perlahan
Andre mencoba mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Rasa
'berat'nya dalam mengungkapkan begitu terlihat. Aku tau kalau dia juga
sangat menyayangiku, dia tidak akan mungkin setega ini denganku.
"Tapi,
Vi. Bagaimana dengan cita-citaku tahun ini? Bukankah kamu juga
menginginkan itu? Aku ingin membanggakan mereka dulu, Vi. Kedua Orang
tuaku."
Ucapannya tertahan. Ia mencoba menghela nafas. mengatur bicaranya, mungkin takut menyakitiku.
"Toh
ini hanya sementara. Vii, aku tau kamu pasti sedih. Kamu juga tau
bagaimana dengan aku kan? Aku juga pasti sangat sedih. Tak lagi bersama
denganmu. Denganmu yang selalu mengingatkanku dengan segala asa yang
ingin ku gapai, denganmu yang selalu mengajari arti sabar dan memahami."
"Vii,
bukan kamu menggangguku untuk menyelesaikan skripsi. Ada kamu justru
membuatku semakin semangat untuk cepat lulus kuliah. Ada kamu
disampingmu justu membantuku terus berjalan ketika stag tak memperoleh
pencerahan."
Entah mengapa, aku tak kuasa mendengarkan
bicaranya. Bicaranya yang mencoba menenangkanku tetapi juga menahan
sakit dalam hatinya. Aku tak tau, apa yang harus aku ucapkan lagi
kepadanya, tapi hatiku masih saja menolak ketika ini harus diakhiri
karena skripsi.
"Terus untuk apa, Ndre. Untuk apa semua ini harus diakhiri? Tak sedikitpun kerugian yang kamu dapat dariku dengan skripsimu?"
"Iya, aku memang tak pernah rugi bersamamu."
Kembali, Ia diam sejenak.
"Vii,
aku ingin skripsiku ini aku persembahkan untuk kedua orang tuaku.
Mengertilah. Mereka yang telah berjuang siang dan malam demi aku dan
adik-adikku. Mereka yang telah mengajariku arti hidup. Mereka segalanya
bagiku. Tapi, aku belum pernah mempersembahkan sesuatu yang sangat
berharga baginya. Belum pernah, Vii. Aku takut berdosa pada mereka. Aku
takut, aku belum mampu membahagiakan mereka. Bagaimana kalau mereka
harus meninggalkanku untuk selamanya, sementara aku belum mampu membuat
mereka tersenyum bangga kepadaku?"
Aku melihat Andre menitihkan air mata, 'Ya Allah. Salahkah aku? Apakah aku harus menghalangi niat sucinya? tapi bagaimana denganku?'
"Apa maksudmu, Ndre?"
"Sekarang
coba kamu bayangkan. Apa yang akan terjadi dengan skripsiku ketika aku
bersamamu? Vii, aku terlalu sayang sama kamu. Kalau aku sama kamu,
ngerjain skripsi ini dalam keadaan kita masih bersama, aku takut
orientasiku bukan lagi untuk mereka. Bukan lagi untuk kedua orang tuaku,
Vii. Karena kamulah yang selalu menyemangatiku. Kamulah yang menjadi
pendorong utama untuk cepat menyelesaikan skripsi ini. Tentu karena aku
ingin kamu bangga kepadaku, kepada kekasihmu ini. Ingin kamu bangga
melihatku lulus cepat, IP cumlaude. Bukan begitu? Dan itu yang aku
takutkan. Skripsi yang ingin ku persembahkan untuk mereka pada akhirnya
untukmu juga. Aku mohon, mengertilah posisiku. Aku ingin
mempersembahkannya untuk kedua orang tuaku."
Aku menatap
Andre, matanya terlihat sembab. Nafasnya terkadang tertahan. Mencoba
menahan agar tidak mengeluarkan air mata dihadapanku.
"Ndre,
Maafkan aku kalau aku telah menghalangi cita-cita mulia kamu. Tapi
sungguh, aku tak pernah bermaksud untuk menghalangi baktimu kepada
mereka, sama halnya dengan yang kamu lakukan kepadaku. Aku hanya takut
kehilanganmu. Aku tak tau, seperti apa aku nanti ketika harus
kehilanganmu."
"Kalau memang itu yang kamu inginkan, apa
boleh buat. Orang tua kamu lebih utama. Lakukan apa yang kamu
cita-citakan. Persembahkan itu untuk kedua orang tuamu. Buat mereka
bangga ketika menyaksikanmu saat wisuda. Fais Andrea, Wisudawan tercepat
dengan IPK tertinggi. Buat mereka bangga."
Aku tak mampu
lagi melanjutkan ucapanku, segera ku palingkan wajahku darinya. Kembali
ku tundukkan kepalaku. Aku tak ingin melepasnya dengan kesedihan.
Seharusnya aku bisa mendukung apa yang ia inginkan. bukan malah
menghalangi dan menangisi yang membuatnya tak kuasa untuk terus mengukir
sejarah hidupnya, begitu gumamku untuk menyemangatiku.
"Makasih,
Vii. Aku tau, kamulah yang selalu memahami segala keinginanku. Bahkan
ketika orang lain mencibir dan meragukannya. Makasih untuk semuanya, dan
maaf aku terlalu sering membuatmu sakit hati. Jangan pernah takut
kehilangan. Bukankah setiap insan ditakdirkan untuk bertemu dan
berpisah? Kalau kita ditakdirkan untuk bersatu, bersama selamanya.
Yakinlah, Jodoh tak akan tertutukar, dan kita pasti akan dipertemukan
kembali."
"Satu lagi. Ketika aku wisuda nanti, aku pasti
akan mengundangmu. Tunggu waktunya. Jangan sedih, dan ingat akan asa
yang ingin kau capai. Gapai itu semua. Aku akan menunggu cerita
keberhasilanmu saat aku wisuda kelak."
***************************Bersambung*********************************