Kamis, 29 Agustus 2013

[Cerbung]_Sekeping Hati yang Terluka


"Apa-apaan sih, Ndre. Nggak lucu tau!!"

Nadaku meninggi ketika Andre tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Suasana yang begitu menyenangkan menjadi mencekam, tegang dan kacau. Bagaimana tidak, tanpa ba bi bu Andre meminta untuk tak berhubungan terlebih dahulu. Bukan tanpa alasan, keinginannya untuk fokus dengan skripsi yang sedang ia kerjakan menjadi alasan utamanya.

"Bukannya aku tak mendukungmu untuk lulus cepat, Ndre. Tapi kamu tau kan bagaimana aku tanpamu?"

Aku tertunduk, diam. Hatiku berkecamuk. Banyak hal yang aku pikirkan dengan permintaan kekasihku ini. Orang yang selalu memberiku semangat dalam menjalani hidup.

Aku dengan Andre telah terbiasa bersama lebih dari 2 tahun lamanya. Hari-hari menjadi lebih berwarna ketika bersama dengannya. Laki-laki yang berkulit putih keturunan chinese ini tipe laki-laki yang sangat aku idam-idamkan. Diamnya selalu mempunyai arti, bicaranya selalu sampai ke hati. Pendiam tapi tegas. Dia bukan tipe orang yang romantis, tapi selalu mampu membuatku nyaman ada di sampingnya.

'Bagaimana mungkin aku harus menunda kebersamaan itu? Bagaimana mungkin? Mungkinkah aku bisa tetap seperti ini? Menjalani hidup dan selalu semangat menggapai impian-impianku. Ahh, aku sudah terlalu terbiasa dengannya, suka dan duka sudah terlalu banyak aku lalui bersamanya. Bahkan perjalanan hidupku sudah ku buat bersamanya.....'

Pikiranku tak tentu arahnya. Aku tak mampu membayangkan bagaimana aku harus menjalani semua ini sendiri. Tanpanya. Tanpa Andre, yang selalu sabar menitihku membuat jejak-jejak kehidupanku. Membantuku menggapai asa-asa yang ingin ku raih.

Sementara, Andre masih terdiam. Tampak wajahnya begitu padam, tak sedikitpun terpancar rona kebahagiaan dari air mukanya. Kebimbangannya dengan keputusan yang sedang ia lakukan masih terlihat begitu jelas. Antara tega dan tak tega denganku.

"Ndre, bicara padaku. Kamu hanya bercanda kan?"

Aku mencoba memberanikan diri menatapnya. Tapi tak sedikitpun aku mampu melihat wajahnya, ia mencoba menyembunyikan kegundahan itu kepadaku.

"Ndre, Aku mohon. Lihat aku, lihat aku dan bilang kalau kamu bohong."

Air mataku mula membasahi pipiku. Tangis yang aku pendam sedari tadi tak mampu aku bendung. Aku tak bisa membohongi perasaanku. Rasa yang sangat aku takutkan sejak aku memilikinya. Takut kehilangannya.

"Ndre, Please. Jangan buat aku seperti ini."

Perlahan Andre mencoba mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Rasa 'berat'nya dalam mengungkapkan begitu terlihat. Aku tau kalau dia juga sangat menyayangiku, dia tidak akan mungkin setega ini denganku.

"Tapi, Vi. Bagaimana dengan cita-citaku tahun ini? Bukankah kamu juga menginginkan itu? Aku ingin membanggakan mereka dulu, Vi. Kedua Orang tuaku."

Ucapannya tertahan. Ia mencoba menghela nafas. mengatur bicaranya, mungkin takut menyakitiku.

"Toh ini hanya sementara. Vii, aku tau kamu pasti sedih. Kamu juga tau bagaimana dengan aku kan? Aku juga pasti sangat sedih. Tak lagi bersama denganmu. Denganmu yang selalu mengingatkanku dengan segala asa yang ingin ku gapai, denganmu yang selalu mengajari arti sabar dan memahami."

"Vii, bukan kamu menggangguku untuk menyelesaikan skripsi. Ada kamu justru membuatku semakin semangat untuk cepat lulus kuliah. Ada kamu disampingmu justu membantuku terus berjalan ketika stag tak memperoleh pencerahan."

Entah mengapa, aku tak kuasa mendengarkan bicaranya. Bicaranya yang mencoba menenangkanku tetapi juga menahan sakit dalam hatinya. Aku tak tau, apa yang harus aku ucapkan lagi kepadanya, tapi hatiku masih saja menolak ketika ini harus diakhiri karena skripsi.

"Terus untuk apa, Ndre. Untuk apa semua ini harus diakhiri? Tak sedikitpun kerugian yang kamu dapat dariku dengan skripsimu?"

"Iya, aku memang tak pernah rugi bersamamu."

Kembali, Ia diam sejenak.

"Vii, aku ingin skripsiku ini aku persembahkan untuk kedua orang tuaku. Mengertilah. Mereka yang telah berjuang siang dan malam demi aku dan adik-adikku. Mereka yang telah mengajariku arti hidup. Mereka segalanya bagiku. Tapi, aku belum pernah mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga baginya. Belum pernah, Vii. Aku takut berdosa pada mereka. Aku takut, aku belum mampu membahagiakan mereka. Bagaimana kalau mereka harus meninggalkanku untuk selamanya, sementara aku belum mampu membuat mereka tersenyum bangga kepadaku?"

Aku melihat Andre menitihkan air mata, 'Ya Allah. Salahkah aku? Apakah aku harus menghalangi niat sucinya? tapi bagaimana denganku?'

"Apa maksudmu, Ndre?"

"Sekarang coba kamu bayangkan. Apa yang akan terjadi dengan skripsiku ketika aku bersamamu? Vii, aku terlalu sayang sama kamu. Kalau aku sama kamu, ngerjain skripsi ini dalam keadaan kita masih bersama, aku takut orientasiku bukan lagi untuk mereka. Bukan lagi untuk kedua orang tuaku, Vii. Karena kamulah yang selalu menyemangatiku. Kamulah yang menjadi pendorong utama untuk cepat menyelesaikan skripsi ini. Tentu karena aku ingin kamu bangga kepadaku, kepada kekasihmu ini. Ingin kamu bangga melihatku lulus cepat, IP cumlaude. Bukan begitu? Dan itu yang aku takutkan. Skripsi yang ingin ku persembahkan untuk mereka pada akhirnya untukmu juga. Aku mohon, mengertilah posisiku. Aku ingin mempersembahkannya untuk kedua orang tuaku."

Aku menatap Andre, matanya terlihat sembab. Nafasnya terkadang tertahan. Mencoba menahan agar tidak mengeluarkan air mata dihadapanku.

"Ndre, Maafkan aku kalau aku telah menghalangi cita-cita mulia kamu. Tapi sungguh, aku tak pernah bermaksud untuk menghalangi baktimu kepada mereka, sama halnya dengan yang kamu lakukan kepadaku. Aku hanya takut kehilanganmu. Aku tak tau, seperti apa aku nanti ketika harus kehilanganmu."

"Kalau memang itu yang kamu inginkan, apa boleh buat. Orang tua kamu lebih utama. Lakukan apa yang kamu cita-citakan. Persembahkan itu untuk kedua orang tuamu. Buat mereka bangga ketika menyaksikanmu saat wisuda. Fais Andrea, Wisudawan tercepat dengan IPK tertinggi. Buat mereka bangga."

Aku tak mampu lagi melanjutkan ucapanku, segera ku palingkan wajahku darinya. Kembali ku tundukkan kepalaku. Aku tak ingin melepasnya dengan kesedihan. Seharusnya aku bisa mendukung apa yang ia inginkan. bukan malah menghalangi dan menangisi yang membuatnya tak kuasa untuk terus mengukir sejarah hidupnya, begitu gumamku untuk menyemangatiku.

"Makasih, Vii. Aku tau, kamulah yang selalu memahami segala keinginanku. Bahkan ketika orang lain mencibir dan meragukannya. Makasih untuk semuanya, dan maaf aku terlalu sering membuatmu sakit hati. Jangan pernah takut kehilangan. Bukankah setiap insan ditakdirkan untuk bertemu dan berpisah? Kalau kita ditakdirkan untuk bersatu, bersama selamanya. Yakinlah, Jodoh tak akan tertutukar, dan kita pasti akan dipertemukan kembali."

"Satu lagi. Ketika aku wisuda nanti, aku pasti akan mengundangmu. Tunggu waktunya. Jangan sedih, dan ingat akan asa yang ingin kau capai. Gapai itu semua. Aku akan menunggu cerita keberhasilanmu saat aku wisuda kelak."

***************************Bersambung*********************************